Pasar Muamalah di Depok kini ramai menjadi bahan perbincangan warganet, bukan lantaran  barang-barangnya bagus dan murah, tapi lantaran transaksi jual belinya menggunakan mata uang Dinar dan Dirham.
Padahal  menurut Bank Indonesia mata uang Rupiah merupakan satu-satunya alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran yang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan Rupiah.
Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 angka dan angka 2, Pasal (1) serta Pasal 21 ayat (1) Â Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang.
Artinya transaksi yang dilakukan di pasar muamalah tersebut tidak sah dan seharusnya dtindak oleh aparat keamanan.
Namun entah kenapa Pemerintah Kota Depok memilih membiarkan pasar muamalah yang secara hukum sudah layak disebut melanggar hukum yang ada di Indonesia.
Pasalnya Pasar Muamalah ini menurut beberapa sumber bacaan yang saya dapat sudah berlangsung secara reguler sejak tahun 2016.
Penggagas pasar ini adalah Zaim Zaidi seorang peneliti senior di Lembaga Swadaya Masyarakat  (LSM) Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC).Â
Ia menjelaskan kegiatan di Pasar Muamalah ini mencontoh  kegiatan Rasulallah SAW ketika bermuamalah jual beli.
Menurutnya, seperti yang dilansir Republika.co.id dalam Islam sebuah pasar merupakan wakaf yang tidak boleh dimiliki pribadi. Pasar juga tidak boleh disewakan, disekat antara pedagang, ditarik biaya sewa, pajak, dan riba.
Dari sini saja sebenarnya menurut saya sudah ada beberapa hal yang salah, terutama masalah pajak. Pajak dalam bertransaksi jual beli itu merupakan kewajiban warga negera Indonesia.
Apalagi kemudian di Pasar Muamalah itu mereka bertransaksi menggunakan mata uang uang Dirham dan Dinar.