Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jika Cerai Memang Jalan Terbaik, Kenapa Tidak?

5 September 2020   12:21 Diperbarui: 5 September 2020   12:45 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teman saya pernah bilang terkait masalah perceraian  ini, ia berbicara dalam Bahasa Sunda begini katanya 

"Ibarat urang keur nanggung barang ti hiji tempat ke tempat lain, tapi ditengah jalan sihoreng teh beurat pisan eta barang teh, nya ari geus teu kuat nanggung na mah ecagen we tibatan urang cilaka"

Dalam Bahasa Indonesia artinya kurang lebih, 

"Seperti kita sedang membawa beban dari satu tempat ke tempat lain, jika ditengah jalan ternyata beban itu dirasa sangat berat dan kita sudah tak mampu lagi membawanya, ya sudah letakan saja daripada kita celaka"

Begitu kira-kira, pertanyaannya kemudian benarkah pernikahan itu sebuah beban? Sampai tahap tertentu pernikahan itu memang beban, tak bisa dipungkiri.

Karena dalam pernikahan itu ada kewajiban yang sudah menjadi komitmen bagi kedua belah pihak, dan kewajiban itu biasanya diartikan sebagai beban lantaran kita harus melakukannya terlepas dari suka atau tidak kita melaksanakannya.

Ketika salah satu pihak dengan berbagai alasan sudah atau dianggap tak mampu lagi memenuhi kewajibannya, maka yang akan terjadi adalah dispute atau perselisihan.

Jika perselisihan ini tak jua bisa diselesaikan maka yang terjadi adalah pertengkaran yang berkepanjangan tanpa akhir. Hal ini dapat menguras segala energi yang kita miliki. Ujungnya hidup kita menjadi berantakan.

Lantas pertanyaan berikutnya, apakah dengan dasar ada cinta di tengahnya urusan kewajiban itu kan seharusnya bisa dikomunikasikan dengan baik?

Betul itu memang bisa dikomunikasikan antar keduanya, tapi harus ingat pernikahan itu bukan ruang hampa yang bebas dari pengaruh-pengaruh eksternal.

Pengaruh itu bisa saja terjadi secara langsung melalui intervensi dari keluarga kedua belah pihak atau pihak ketiga misalnya, atau pengaruh yang secara tidak kita sadari tiba-tiba masuk ke dalam alam bawah sadar kita, yang seolah-olah menegaskan pandangan kita bahwa pasangan kita  tidak  lagi memenuhi standar kewajiban seperti yang diharapkan.

Kewajiban di sini bukan melulu masalah materi, dan kadang kewajiban itu tak bersifat formal atau kewajiban yang datangnya dari dalam diri pasangan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun