Salah satu penanda sebuah perusahaan dikelola dengan seksama  dan maju ialah ketika keuntungan terus melambung, karyawan sejahtera, lapangan kerja tercipta lebih masif, dan perluasan kapasitas dengan menambah kantor cabang atau membuat anak usaha baru.
Awalnya anak usaha baru dibangun  untuk mendukung bisnis inti namun kemudian biasanya akan melebar kemana-mana, karena para pengelola perusahaan akan menangkap setiap peluang  yang melintas di depannya.
Mereka akan terus mengakumulasi modalnya untuk menghasilkan keuntungan berikutnya Mungkin kita bisa menganalogikan seperti amuba yang terus membelah diri. Â Pada dasarnya begitulah alur cerita terbentuknya sebuah konglomerasi perusaahaan.
Perusahaan rokok Djarum misalnya, awalnya mereka hanya mendirikan pabrik pengolahan tembakau menjadi rokok, setelah berkembang untuk mendukung produksinya mereka mendirikan pabrik kertas pembungkus rokok.
Lantas untuk menunjang distribusinya mereka membuat perusahaan distributor, untuk mengamankan bahan baku mereka membeli perkebunan tembakau dan seterusnya, sampai akhirnya berkembang sangat besar.
Bahkan dalam perkembangannya mereka mendirikan atau membeli lini usaha baru diluar jalur bisnis intinya.Â
Seperti mendirikan pabrik barang elektronik  yang juga kemudian melahirkan anak usaha. Bank BCA yang melahirkan anak usaha juga sama seperti perusahaannya yang lain.
Bukan cuma Djarum, mayoritas perusahaan -perusahaan dengan nama besar di Indonesia atau dimanapun di dunia ini selalu seperti ini. Sebut saja, Bakrie Brothers, CT Corps miliknya Chairul Tanjung, Indo Grup milik Anthony Salim, Mayapada Grup milik Tahrir dan banyak lagi yang lainnya.Â
Kadang antara bisnis inti dan bisnis complementary yang dimiliki menjadi sumir. Karena diversifikasinya terlalu luas dan keuntungan bisnis tambahannya kadang lebih besar dibanding bisnis inti.
Memang naturenya sebuah usaha ya seperti itu, mereka akan terus mencari celah untuk mengalirkan modalnya untuk melipatkannya menjadi sebuah keuntungan. Itulah kapitalis.
Nah, lantas kenapa Erick Thohir harus misuh-misuh melihat kenyataan Pertamina  dan BUMN yang lain memiliki banyak anak cucu perusahaan?