Telaah Kita Terhadap Konflik Lahan Yang Terjadi di Indonesia
Dipenghujung tahun 2011 yang lalu kita kembali dikejutkan dengan aksi kekerasan yang dilakukan oleh pihak aparat keamanan kepada rakyat Indonesia. Kekerasan demi kekerasan harus diterima rakyat sebagai akibat rakyat harus mempertahankan dan merebut kembali lahan atau tanah yang dirampas para pemilik modal. Kekerasan yang terjadi di Mesuji dan di Bima semakin memperpanjang daftar kekerasan yang terjadi di negara ini. Walaupun sebelumnya kita ketahui bahwa kasus kekerasan di Mesuji dan Bima bukan merupakan sesuatu yang baru, karena kasus kekerasan terhadap rakyat sesungguhnya sudah terjadi sejak lama dan terus berlangsung sejak saat ini. Tapi dalam banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di negeri ini, kasus kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kasus kekerasan terhadap para petani. Kekerasan terhadap para petani ini saja, sepanjang tahun 2011 telah menyebabkan lebih dari 20 orang petani meninggal di tanahnya sendiri. Pertanyaannya kemudian adalah mau sampai kapan kekerasan-kekerasan yang berujung kematian ini terjadi?. Terlepas dari pertanyaan yang ada diatas, ada beberapa hal yang kemudian dapat kita telaah lebih jauh, terkait banyaknya kasus kekerasan yang dialami oleh para petani. Yang kemudian harus kita telaah menyangkut kasus kekerasan terhadap petani akibat dari konflik lahan/tanah adalah sebagai berikut:
- Kasus kekerasan terhadap petani adalah akibat dari para petani mempertahankan tanahnya yang diserobot dengan cara-cara yang seksama oleh para pemilik modal, baik untuk pertambangan dan perkebunan.
- Ditengah konflik yang terjadi pasti selalu ada pihak aparat yang seolah-olah melakukan tindakan pengamanan tetapi ternyata pihak keamanan hanya berpihak kepada para pemilik modal.
- Kasus konflik tanah ini biasanya bersifat laten, artinya apabila kasus tanah ini akhirnya berujung pada kekerasan sebetulnya itu adalah puncak dari konflik yang sudah berlangsung lama dan akhirnya pilihan petani untuk melakukan pendudukan lahan/tanah adalah pilihan akhir dari panjangnya perjuangan yang dilakukan oleh para petani untuk mempertahankan lahan/tanahnya.
- Konflik lahan/tanah ini bukanlah konflik horizontal yang hanya diidentifikasikan antara petani dan pemilik modal atau yang lebih aneh lagi kalau konflik antara petani dan pemilik modal ini hanya dikategorikan hanyalah kasus kekerasan biasa-kalau sudah pada tahap kerusuhan antara aparat keamanan dan petani. Tetapi lebih dari itu bahwa konflik lahan/tanah, sebetulnya adalah masalah struktural yang melibatkan penguasa negara dengan sekian perangkatnya (baca: eksekutif, legislatif dan UU serta peraturan-peraturan yang telah diterbitkan) sampai pada tataran penguasa daerah (baca: gubenur, bupati dan segala perda yang mereka keluarkan). Artinya konflik tersebut tentu saja akibat dari semakin berpihaknya para elit negeri ini dengan para pemilik modal, hingga akhirnya rakyat akan menjadi korban dari keberpihakan atau perselingkuhan antara elit negeri ini dengan para pemilik modal. Ciri lain dari konflik lahan/tanah disebut bersifat struktural adalah penggunaan cara-cara penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan ini bersifat fisik, seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman, penangkapan, isolasi, dsb. Sedang pola penaklukannya bersifat “ideologis” seperti delegitimasi bukti-bukti hak rakyat, penetapan ganti rusi sepihak, manipulasi tanda-tangan rakyat, dicap sebagai PKI atau anti pembangunan, dsb.
Dari sinilah kemudian kita mencoba menelaah lebih jauh tentang banyaknya kasus kekerasan kepada petani. Sehingga akhirnya kita dapat mengatakan bahwa sebetulnya konflik itu pasti akan terus terjadi apabila pemerintah negeri masih tetap berpihak kepada para pemilik modal dan terus menutup mata dengan sekian banyak kasus konflik lahan/tanah yang akhirnya petani menjadi korban akibat dari kerakusan para pemimpin negeri ini dan para pemilik modal tentunya.