Kadang, jadi orang baik bikin kita diam saat salah terjadi. Tapi jadi orang benar, tak jarang membuat kita dianggap menyebalkan. Jadi, harus pilih yang mana?
Pernah nggak, berada dalam situasi di mana kamu tahu seseorang salah, tapi kamu memilih diam karena nggak enak hati? Atau sebaliknya, kamu berani menyuarakan kebenaran tapi akhirnya dianggap "nyebelin", sok tahu, bahkan dijauhi?
Di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi "rukun", terkadang orang lebih memilih jadi baik daripada jadi benar. Jadi baik artinya menyenangkan semua orang, menghindari konflik, dan menjaga harmoni. Tapi, di saat yang sama, kebenaran bisa jadi dikorbankan. Yang penting semua happy.
Saya sendiri pernah mengalami itu. Dalam sebuah diskusi kerja, saya tahu ada keputusan yang menurut saya tidak tepat. Tapi karena yang bicara adalah atasan, dan teman-teman saya diam saja, saya pun ikut diam. Saat itu, saya memilih jadi "baik". Tapi setelahnya, saya merasa bersalah---karena saya tahu, itu bisa berdampak buruk pada proyek kami.
Sebaliknya, pernah juga saya menyampaikan kritik terbuka dalam sebuah komunitas. Niatnya konstruktif, tapi malah dianggap memecah belah. Sejak itu, saya mulai bertanya-tanya: apakah lebih penting diterima orang, atau menyuarakan yang benar?
Antara Kebenaran dan Kenyamanan
Orang benar belum tentu disukai. Bahkan, kebenaran seringkali tidak nyaman. Tapi jika semua orang hanya ingin diterima, siapa yang akan menyampaikan apa yang seharusnya?
Namun, jadi benar juga perlu seni. Benar tidak harus kasar. Menegur tidak harus merendahkan. Mungkin inilah tantangan kita hari ini---bukan hanya memilih antara jadi orang baik atau orang benar, tapi menjadi orang benar dengan cara yang tetap baik.
Menjadi Baik dan Benar, Bukan Salah Satu
Kenapa harus memilih, kalau bisa dua-duanya? Bukan hal yang mudah, tentu. Tapi di situlah letak seni bersosialisasi---bagaimana menyampaikan kebenaran tanpa menjatuhkan, dan tetap menjaga hubungan tanpa kehilangan prinsip.