Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Geger Pajak Hiburan Naik di Tahun Politik, Para Capres Bereaksi?

18 Januari 2024   09:55 Diperbarui: 7 Februari 2024   13:05 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kejadian menggemparkan di awal tahun politik 2024. Manakala viral bahwa pajak daerah untuk PBJT yaitu klub malam, diskotik, bar, spa, dll yang musti naik pajaknya dimana seorang pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea memviralkan bahwa Kabupaten Badung, Bali tempat dimana klub malam miliknya berada akan dikenakan pajak sebesar 40 persen berdasarkan Perda Kabupaten di awal 2024 yang akan terbit setelah sebelumnya pajak daerah untuk klub malam dkk di Kabupaten tersebut adalah sebesar 15 persen (terakhir diundangkan sejak 2020). Namun imbas dari penerapan UU HKPD (Hubungan Keuangan Pusat & Daerah) alias UU No 1 Tahun 2022. 

Setiap daerah diharuskan menyesuaikan Peraturan Daerah yang ada untuk selaras dengan yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah masing-masing. Menurut Hotman ini tidak sesuai dengan semangat Pemerintah Pusat dan Daerah untuk bersama-sama mendorong pemulihan ekonomi nasional yang masih terus berlanjut pasca pandemi utamanya di Provinsi Bali yang notabene merupakan Provinsi Pariwisata yang mana perlahan tapi pasti geliat untuk meramaikan Bali masih terus dibangun, sementara dengan adanya aturan ini lantas bertolak belakang karena jika pajak yang dibebankan kepada para pelanggan klub malam dkk ini ditetapkan maka mereka akan 'lari' ke negara-negara yang pajaknya lebih murah. Lantas potensi devisa juga tidak akan maksimal.

Fenomena yang bisa dikatakan sebagai sebuah anomali ini lantas mengherankan pula. tidak hanya sebenarnya pengusaha klub malam dan sejenis. Melainkan pengusaha karaoke sekaligus artis seperti Inul Daratista yang lantas memprotes kebijakan ini dimana ia menyayangkan bahwa Pemerintah dengan tidak bijaksana disatu sisi mengajak kolaborasi pulihkan ekonomi tapi disisi lain mereka mulai diminta pertanggungjawaban atas tetes demi tetes keuntungan yang baru saja dihidupkan kembali. Seolah-olah dibandingkan pula dengan pemanfaatan pajak khususnya daerah yang semena-mena. 

Oknum pajak di Pusat dan Daerah sudah banyak membuat para pengusaha 'malas' membayar pajak karena rakyat diminta tanggungjawab tapi mereka tidak mampu mempertanggungjawabkan semua yang telah diberi. Inul memperlihatkan kondisi karaokenya yang terkenal tersebut sekarang sudah sepi bak mati suri, namun belum lama mereka ditagihkan pajak yang sangat besar daripada sebelumnya dimana case di DKI Jakarta untuk karaoke sebelumnya hanya sekitar 20 persen naik menjadi 40 persen. 

Sehingga wajar pula sindiran atau umpatan bahwa ini bukan kewajiban melainkan pemerasan diungkapkan begitu saja. Bayangkan, disaat para industri hiburan tersebut berjuang untuk 'reborn' apalagi mereka paling terpuruk dalam pandemi bahkan paling lama untuk bangkit dibanding sektor lain, ditambah PHK terbanyak dari sektor tersebut. Kini mereka musti telan 'pil pahit' atas apa yang terjadi baru saja.

Kejadian ini tentunya menuai banyak reaksi bahkan imbasnya pengusaha spa dan jasa hiburan di Bali, bahkan geliatnya juga diikuti oleh pengusaha hiburan malam se Medan, Makassar, bahkan di Jakarta dan Surabaya yang sempat menggugat aturan ini alias Judicial Review di MK karena memang salah satu esensi mengapa aturan ini harus digugat adalah karena kurangnya partisipasi publik dalam hal ini pelaku usaha dalam memastikan aturan tersebut ditegakkan dan sesuai dengan kesepakatan bersama. 

Bayangkan saja, dengan pajak yang ditetapkan sudah ada saja pertanggungjawabannya berantakan apalagi jika dinaikkan yang hanya 'memperkaya' oknum saja. Apalagi momentumnya tidak tepat. Makanya, dari Pihak Pemerintah Pusat sampai Menparekraf Sandiaga Uno juga bereaksi bahwa ini memang masih dalam kajian dan ia mendukung keputusan untuk siapapun berhak menggugat, disamping Pusat juga akan berupaya siapkan insentif kepada siapapun yang merasa keberatan. Sehingga himbauannya ditunda, senada pula dengan Kemenkeu yang mana sekalipun tarif 40-75 persen ini sudah ada sekitar 177 dari 436 daerah menerapkan untuk jasa hiburan. Tapi tentunya geger pula bagi yang tarifnya dibawah itu untuk menyesuaikan, sehingga asosiasi dari daerah-daerah yang sebelumnya tidak sebesar range itu punya hak. 

Diskusi publik sangat terbuka luas dari negara untuk memastikan semua bisa menerima haknya dengan baik. Imbas dari ramainya gugatan MK terhadap aturan ini. Pusat melalui Menkomarves Luhut Binsar Panjaitan memutuskan untuk menunda dimana tiap Pemda yang sudah terbitkan Perda sesuai dengan UU HKPD agar ditunda dahulu karena memang belum urgensinya menerapkan aturan tersebut.

Bagaimana tanggapan para kontestan Pilpres 2024 mengenai hal ini? Belum lama ini Gibran Rakabuming Raka datang mengunjungi Bali, dimana ia langsung ditodong para pelaku usaha dari jasa hiburan tersebut untuk mengajak diskusi soal penerapan pajak 40-75 persen tersebut. Dimana keluhan tersebut datang yang mana dinilai merusak persaingan pasar hiburan yang akhirnya masyarakat Internasional akan kabur ke negara lain, apalagi banyak sekali maraknya DJ yang berasal dari asing karena kearifan lokal atau pemanfaatan investasi yang berpihak pada dalam negeri juga pada sektor ini kita kalah. Namun saat itu Gibran tidak banyak bicara dan lantas mengkaji isu tersebut untuk dipertimbangkan perlunya ada insentif soal ini. 

Begitu juga dari Ganjar Pranowo, yang mana sebagai Capres ia merasa bahwa ada yang salah dalam penerapan sebuah aturan dimana ia menyinggung soal dahulu kenaikan cukai tembakau dimana hujan kritik ramai ke Pusat dan justru ia menyayangkan oknum DPR dan Menteri di Kabinet yang terlalu bersekongkol atas besaran tarif yang ditentukan tersebut. Karena ia mendengar bahwa, dari Kementerian Keuangan tidak dalam menentukan tarif dan sebenarnya memang benar bahwa industri hiburan mulai 'rebound' tapi begitu tarifnya dinaikkan lantas akan kembali memberatkan. Sehingga kuncinya memang harus ada revisi dan partisipasi yang dihidupkan. Spesifiknya soal batas bawah yang dipatok terlalu tinggi dimana sebelumnya tidak ada batas bawah dan atas yang mana semua diserahkan pada kondisi daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun