Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dilema Macet Jakarta: Batasi Kendaraan, Penduduk Tak Terbatas, Jalan Terbatas

16 Februari 2023   08:10 Diperbarui: 16 Februari 2023   08:25 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kemacetan sudah menjadi bagian dari kehidupan entah sebagai momok atau sebuah takdir dari Ibukota Jakarta. Statusnya sebagai Ibukota memang tak lama lagi, setelah posisinya akan tergantikan oleh IKN Nusantara di Pulau Kalimantan sana. 

Tapi, terus terang macet pun takkan kunjung hilang bilamana Jakarta yang very strategic tersebut sudah menjelma menjadi Metropolitan ataupun Megapolitan karena sudah saling terkoneksi dengan penyangga di sekitarannya sekalipun mereka berbeda Provinsi. 

Konkritnya bisa kita lihat pagi dan sore dari dan menuju Jakarta. Selalu saja seperti semut yang menuju sebuah donat manis, tiada habis arus itu muncul apalagi setelah Pandemi. Malah lebih parah daripada situasi sebelum Pandemi yang mana bisa jadi pertumbuhan penduduk di Jakarta saat ini memang sudah memasuki puncaknya terutama usia produktif yang beraktivitas untuk mencari penghidupan disini. 

Sekalipun, kita ketahui bahwa Jakarta sudah semakin sempit atas lahan permukiman dan menyebabkan harga yang semakin mahal membuat masyarakat menepi ke penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Tapi Jakarta tetap menjadi magnet bagi mereka untuk hidup. 

Makanya kasihan sekali jika kita mendengar istilah bahwa penyangga hanya djcap sebagai 'Kota Numpang Tidur', hanya ramai di jam istirahat saja. Bahkan pernah ada riset muncul mengatakan seperti di Kota Bekasi, 60 persen warganya yang tinggal disana baik KTP Bekasi maupun non KTP Bekasi sehari-harinya beraktivitas di Jakarta sehingga menyisakan sekitar 40 persen saja di Kota Bekasi pada pagi ke sore hari. Lantas apa maknanya bagi Jakarta?

Berarti Jakarta sudah semakin over. Apabila penyangga kini sudah semakin bertumbuh dari segi jumlah penduduk. Sangat berdampak pada aktivitas di Jakarta. Pertumbuhan penduduk di Jakarta saja sudah sangat mengkhawatirkan bahkan menjadi bumerang bagi pertumbuhan ekonomi karena jika tidak dimanage akan menjadi kemiskinan. Seperti yang kita tahu mayoritas penduduk adalah pendatang, begitu juga penyangga. 

Kalau soal macet, ini berarti bahwa setiap pertumbuhan penduduk berimplikasi bagi pertumbuhan kendaraan pribadi. Sekalipun kita mengetahui bahwa tingginya okupansi angkutan umum belakangan ini terjadi mengingat tren ini lahir karena masyarakat ingin lebih mudah dan praktis untuk sampai ke tempat beraktivitas. Hanya saja, untuk kasus antara penyangga ke pusat kota sangat pelik dimana belum semua sisi diakomodir oleh angkutan umum yang nyaman dan layak. 

Kasus ini berlaku di penyangga secara spesifik, dimana pilihan transportasi belum sebanyak di dalam kota Jakarta. Imbasnya, karena mayoritas pekerja di Jakarta juga dari pendatang, lebih baik membawa kendaraan pribadi adalah jalannya. Setiap keluarga apapun latar belakang ekonominya pasti memiliki dan mirisnya lagi pertumbuhan jalan. 

Jangankan jalan di penyangga yang mungkin kita tahu tak selebar dan panjang jalan di Jakarta, masih sangat banyak di Jakarta sendiri jalan yang tidak se-ideal Sudirman-Thamrin yang secara awam kita tahu ideal menampung lonjakan kendaraan dari segala penjuru. 

Tentu ini menjadi perhatian pemangku kepentingan, tak terkecuali Pemprov DKI yang memikirkan rumitnya mengatur jumlah masyarakat di pinggir kota (suburban) menuju pusat kota, kini dia harus menghadapi pula laju dari penyangga (luar kota) yang commute ke dalam/pusat kota. Kesimpulannya adalah membatasi kendaraan, berarti beralih ke kendaraan yang massal namun dilemanya adalah jalan kota yang tidak maksimal. 

Jalan kota yang tidak maksimal terjadi karena semakin terbatasnya kemampuan Pemerintah untuk membangun jalan baru, idealnya sekelas jalan protokol arteri yang menghubungkan pusat aktivitas dengan aktivitas lainnya. Sementara kita ketahui bahwa ada transportasi yang juga mengandalkan jalan tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun