Di Antara Dilema Fiskal dan Sosial
Kebijakan cukai rokok di Indonesia kembali menjadi sorotan tajam setelah pernyataan Ketua Komisi XI DPR RI, M. Misbakhun, yang menilai bahwa kenaikan tarif cukai rokok secara agresif justru melemahkan daya beli masyarakat dan menekan industri kecil-menengah. Isu ini bukan hanya menyangkut fiskal negara, tetapi juga menyentuh aspek keadilan sosial, ketahanan industri padat karya, dan masa depan ekonomi lokal. Indonesia menghadapi dilema antara mengendalikan konsumsi produk berisiko tinggi terhadap kesehatan dan menjaga keseimbangan ekonomi nasional yang masih sangat bergantung pada kontribusi industri hasil tembakau.
Konteks dan Signifikansi Industri Rokok di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu pasar rokok terbesar di dunia, dengan lebih dari 60 juta perokok aktif (Global Adult Tobacco Survey, WHO, 2021). Industri rokok menyumbang sekitar 10% dari penerimaan negara non-migas melalui cukai, dengan realisasi pendapatan lebih dari Rp200 triliun pada 2023 (Kemenkeu, 2024). Namun, di balik besarnya kontribusi fiskal, industri ini menyerap jutaan tenaga kerja dari sektor hulu hingga hilir: petani tembakau dan cengkeh, pabrik pengolahan, distributor, pedagang kecil, hingga sektor informal lainnya.
Perusahaan besar menguasai 70% produksi nasional (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, 2025), sedangkan sisanya diproduksi oleh pabrik kecil dan menengah yang masih sangat bergantung pada sistem kerja padat karya. Rokok dengan harga Rp13.000-Rp15.000/bungkus masih menjadi pilihan utama kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Peningkatan tarif cukai yang mendorong harga jual ke atas Rp20.000/bungkus telah menimbulkan tekanan signifikan terhadap daya beli masyarakat kelas bawah.
Risiko yang Muncul dari Kebijakan Cukai Tinggi
1. Tekanan terhadap Daya Beli dan Konsumsi Terselubung
Tarif cukai tinggi bersifat regresif. Artinya, beban yang ditanggung masyarakat miskin lebih besar dibandingkan kelas menengah ke atas. Studi dari World Bank (2022) menunjukkan bahwa perokok dari rumah tangga miskin mengalokasikan hingga 15%-20% pendapatan bulanan mereka untuk membeli rokok. Dalam kondisi harga naik drastis, mereka bukan berhenti merokok, melainkan beralih ke produk ilegal atau rokok polos (tanpa pita cukai), yang justru tidak menyumbang pendapatan negara dan lebih berisiko dari sisi kesehatan.
2. Ancaman terhadap Industri Padat Karya
Kebijakan cukai tinggi juga berisiko mematikan pabrik rokok kecil-menengah. Berbeda dari perusahaan besar yang dapat beralih ke sistem otomasi, pabrikan kecil padat karya tidak memiliki kemampuan adaptasi secepat itu. Efek domino dapat mencakup:
- Pengurangan tenaga kerja di sektor produksi.
- Penurunan pendapatan petani tembakau dan cengkeh.
- Disrupsi pada distribusi rokok skala kecil dan pedagang eceran.
3. Kenaikan Rokok Ilegal dan Penurunan Penerimaan Negara