Saya pertama kali menginjakkan kaki di Pasar Kliwon Bekonang atas ajakan ayah mertua, seorang pedagang sapi veteran. “Datanglah pagi-pagi di hari Kliwon,” katanya. Awalnya saya mengira itu hanya kebiasaan lokal. Tapi begitu tiba pukul 06.30, saya tertegun: jalan desa sepanjang tiga kilometer berubah menjadi lautan manusia. Ratusan pedagang dan pembeli tumpah ruah, menjajakan segala hal—dari sapi hingga sandal bekas, dari bibit tanaman hingga barang antik.
Pasar ini hanya buka di hari Kliwon, salah satu dari lima hari pasaran dalam kalender Jawa: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Meski hanya berlangsung dari pukul 07.00 hingga 12.00, suasananya seperti festival rakyat. Tidak ada panggung hiburan, tapi ada ritme yang hidup: suara tawar-menawar, tawa warga, dan aroma jajanan tradisional yang menggoda.
Pasaran Jawa: Kalender yang Menyusun Ritme Sosial dan Spiritual
Sistem pasaran Jawa bukan sekadar penanggalan, melainkan warisan budaya yang mengatur ritme hidup masyarakat. Hari Kliwon dianggap sakral dan penuh energi spiritual. Banyak pasar tradisional di Jawa yang hanya buka di hari-hari tertentu sesuai pasaran, seperti Pasar Legi di Kotagede atau Pasar Pon di Cirebon.
Pasar Kliwon Bekonang adalah manifestasi nyata dari tradisi ini. Pedagang dari berbagai daerah—Karanganyar, Klaten, Boyolali—datang khusus di hari Kliwon. Mereka percaya bahwa hari ini membawa keberuntungan dalam berdagang, terutama untuk komoditas seperti hewan ternak dan barang-barang ritual.
Daya Tarik Tak Biasa: Dari Sapi Gemuk hingga Setrika Antik
Salah satu magnet utama Pasar Kliwon Bekonang adalah pasar sapinya. Puluhan sapi diikat rapi di lapangan terbuka, siap ditawar. Pembeli bisa melihat langsung kondisi fisik, bertanya soal pakan, dan menawar harga. Transaksi dilakukan dengan cepat, tapi tetap penuh kehati-hatian.
Selain sapi, ada ayam, bebek, kelinci, bahkan burung puyuh. Tapi yang membuat pasar ini benar-benar unik adalah keberadaan barang-barang bekas dan antik. Helm, onderdil sepeda, perabot rumah tangga, hingga tanaman hias dijajakan dengan harga miring. Saya bahkan menemukan setrika arang antik yang masih berfungsi, dijual oleh seorang kakek yang katanya sudah 30 tahun berjualan di sana.
Pasar ini seperti museum hidup, tempat barang-barang lama menemukan pemilik baru dan cerita baru.
Tips Berkunjung: Waktu, Uang Tunai, dan Seni Menawar