Mohon tunggu...
F Daus AR
F Daus AR Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Penggerutu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pamit

24 Januari 2020   09:08 Diperbarui: 24 Januari 2020   09:11 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rep. Template Canva

"Kita sudah melawan, Nyo. Sehormat-hormatnya, sebangga-bangganya". Tulis Pramoedya Ananta Toer, menutup novel Bumi Manusia. Masuk ke dalam, itu ucapan Nyai Ontosoroh pada Minke. Dua tokoh yang dihidupkan Pram di novel tersebut.

Bumi Manusia, adalah seri pertama dari empat rumpun cerita yang digubah Pram. Tetapi, saya tak ingin mengulas tetralogi itu di sini. Sebab, Rumah Kaca, seri terakhir belum saya baca. 

Saya hanya ingin mengatakan, kalau ucapan Nyai Ontosoroh itu menyiratkan jejak, sepenuhnya ia sadar perihal jalan yang telah ditempuh. Ujungnya, ia tetap merawat semangat meski ada impian yang tak tercapai. Ia pamit setelah berjuang. Hendak pulang mengevaluasi kerja-kerja yang telah ditunaikan dan menyusun bekal ke perjalanan berikutnya.

Situasi yang demikian. Pamit merupakan perlawanan, bukan dorongan emosional yang tak ternalar. Hal inilah yang kadang menghampiri kita, undur diri di tengah perjalanan. Tak jelas apa sebab, peta yang semula disusun diberaikan begitu saja. Seolah menerima kekalahan sebagai takdir.

"Jalan terjal ini akan selalu kita lewati" ucap Nyai Ontosoro lagi. Kita memang punya hak melalui jalan apa yang harus ditempuh. Menjadi pengusaha, petani, nelayan, politisi, atau penulis. Kesemuanya, saya kira, memiliki risiko.

Saya jadi ingat Martin Aleyda, meski ia berasal dari Lekra, Goenawan Moehammad tetap mengakomodasinya di Tempo. Suatu ketika, Goenawan Moehammad menyodorkan tulisan terbarunya, pendiri Tempo itu menulis soal Pram, sebelum dipublikasikan, ia ingin meminta tanggapan Martin. 

Usai mengeja, Martin mengusulkan agar Goenawan melakukan konfrimasi dengan Pram, mengingat kala itu, Pram dilarang menulis di media massa. Mendengar usul Martin, Goenawan lalu memasukkan tulisannya itu di laci meja. Tersimpan untuk selamanya.

Sesama penulis, Goenawan Moehammad tetap menaruh hormat pada Pram, meski pendiri Tempo ini termasuk penanda tangan Manifes Kebudayaan, gerakan melawan Lekra yang dinahkodai Pram. 

Artinya, tak mungkin membangun polemik, Pram telah diminta pamit oleh kekuasaan yang mengharamkannya menulis. Untungnya, Goenawan mengarifi itu.

Risiko penulis, atau bagi orang-orang yang membangun peta di sana. Memanglah selalu menjumpai musuh. Kritik, saya kira hanyalah tingkatan paling rendah yang harus dijumpai. Jadi, pamit dari dunia kepenulisan karena tak sudi menerima kritik. Itu memalukan.

Ada hal yang harus dipertegas memang, kalau menulis bukan sekadar hiburan. George Orwell, novelis Inggris kelahiran India. Menyebutkan kalau menulis itu adalah tindakan politik, usaha sadar yang dilakukan untuk menyampaikan maksud. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun