Mohon tunggu...
Faza Syakira
Faza Syakira Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

SMAN 28 JAKARTA - XI MIPA 5 - ABSEN 12

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Antara Luka dan Bangkit

2 Desember 2020   01:04 Diperbarui: 2 Desember 2020   01:05 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

"Bukan begitu ngepelnya Karina! Akibat jarang bantu pekerjaan orang tua jadi gak bisa ngepel kamu ini."

"Udah Karina. Biar Kakak aja, gapapa," sang Kakak, Tara, mengambil alih.

---------

Tetesan hujan yang jatuh di kaca kafetaria membuat lamunan Karina buyar. Pulpen di tangannya ia tutup ujungnya. Ia bergegas merapikan barang bawaannya dan membayar kopi yang ia pesan.

Di busway ia melamun lagi. Ia memang familiar dengan berada di titik yang bukan titik terbaiknya, namun baru kali ini masa lalu yang tak pernah ia pikirkan tiba-tiba muncul. Seperti bangkai di lautan yang naik ke permukaan air, begitu bila digambarkan.

Sampai di rumah Karina menghamparkan tubuhnya di atas kasur. Sambil memandang langit-langit kamar, pikirannya balapan. Ia bangun, mengambil buku tulis yang tadi ia bawa ke kafetaria.

Belakangan ini rasanya tak mudah. Melihat orang di sekeliling sepertinya menjadi apa yang mereka inginkan --- atau bisa dibilang, apa yang kuinginkan --- benar-benar membuatku tak merasa aman dengan diri sendiri. Awalnya aku menerapkan prinsip menerima diri sendiri. Tak berapa lama aku mempertanyakan diriku, ini salah.

Merasa sedih untuk beberapa waktu memang bukan hal yang paling menyenangkan. Tapi itu lebih baik daripada memperdaya diri sendiri untuk lenyap dalam apapun yang membuat diriku aku. Apalagi sampai masa lalu datang tanpa diundang, seakan-akan kau memancingnya untuk mendatangimu, karena sepertinya memang itu satu-satunya cara.

Aku tidak pernah meminta jadi orang yang tak berani di muka umum, aku tidak pernah meminta jantungku berdegup sangat kencang di situasi yang orang-orang pada umumnya anggap biasa. Aku tidak pernah meminta pikiran yang terlalu peduli kata orang. Aku menyesali menjadi sesuatu yang tak pernah, dan tak akan pernah, jadi salahku.

Lalu salah siapa? Apa aku akan meronta di depan orang tuaku memaksa mereka meminta maaf karena beberapa kesalahan mengasuh yang hanya sedikit fraksi dari seluruh kasih sayang dan kebahagian yang mereka berikan? Bila ya, tak ada gunanya. Lantas apa aku akan memimpikan dunia lain yang ideal di mana aku memiliki semua kualitas yang aku inginkan?

Melepaskan segala hal yang mengganggu kedamaian memang tak mudah. Apalagi bila itu satu-satunya yang kau tahu atau kau terbiasa dengan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun