Mohon tunggu...
Faza AnImah
Faza AnImah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Manusia semenjana

hai !

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Reinterpretasi Nilai Moderasi Beragama di Era Post Truth

7 Desember 2021   12:00 Diperbarui: 7 Desember 2021   13:19 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Istilah Post Truth (Pasca kebenaran) sudah ada sejak 1992. Setelah itu, mulai gencar kembali pada saat keluarnya Inggris Raya dari Eropa dan naiknya Donald Trump menjadi presiden di Amerika Serikat. 

Oxford mendefinisikan Post Truth sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal. Post Truth sudah populer di kalangan masyarakat. 

Mereka tidak peduli, manakah informasi yang benar-benar fakta dan mana informasi yang hanya semu belaka. Apalagi ditopang dengan media sosial yang merajalela. 

Hal ini menimbulkan efek yang berbanding terbalik yaitu mendekatkan orang yang jauh dan menjauhkan orang-orang yang dekat. Sejak era digitalisasi ini semuanya berubah, hingga timbul istilah "Menguatnya era digital menyebabkan matinya era kepakaran". Hal ini dikarenakan orang-orang sudah mempercayakan semuanya pada dunia digital, khususnya internet. 

Banyak orang yang merasa malas untuk membaca buku dan referensi dan memvalidasi apakah itu fakta atau opini. Hanya dengan satu kali klik, dunia bisa dicari. Orang tidak lagi peduli terhadap esensi, tetapi yang mereka perhatikan adalah apa itu eksistensi. Kebenaran bukan lagi sebagai fakta objektif, melainkan berubah menjadi opini relatif.

Mirisnya, hal ini terjadi di sektor keagamaan, khususnya agama Islam. Banyak ideologi dan informasi yang masuk, akan tetapi masyarakat menerimanya dengan tidak selektif. Banyak konten yang menyebar hoaks dan ujaran kebencian. Menurut, Paul Joseph Goebbels, kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjadi kebenaran. Hal ini berarti kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran Jika hal tersebut dibiarkan akan membuat masyarakat Islam merasa terombang-ambing, harus berpegang pada fakta yang mana.

Akhir-akhir ini banyak ormas-ormas yang tergolong menyimpang dan membawa ideologi yang kurang sesuai dengan nilai Pancasila. Dari kasus ini, patut dipertanyakan peran ormas besar yang mennerapkan prinsip moderat di Indonesia. Ada sesuatu yang sangat disayangkan, misalnya, kebanyakan anggota dari NU dan Muhammadiyah itu termasuk dalam floating mass, yaitu orang yang hanya sekedar ikut-ikutan mengikuti kaum mayoritas. Dan hanya beberapa yang termasuk dalam elite agamawan. Oleh karena itu, tidak hanya prinsip sami'na wa atho'na saja yang diperlukan, melainkan wa tafakkarna wa analisa juga. 

Kajian islam moderat terhadap era Post Truth ini haruslah ditegakkan. hal ini bisa ditopang oleh peran ormas Islam yang harus ditingkatkan agar masyarakat tidak terhanyutkan oleh era ini. Selain itu, kesadaran dan dari diri sendiri pun perlu diperhatikan. Misalnya, dalam menangkap segala informasi kita harus bisa bersikap selektif untuk menyaring kebenaran. Jangan terbawa arus opini yang sekedar mayoritas, kita harus meninjau dulu kevalidannya. Tingkatkan kualitas literasi kita! Jangan sampai termakan oleh berita dengan judul clickbait yang dapat menggiring opini masyarakat. Tanamkan dan kuatkan dalam diri sikap bermoderasi!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun