Mohon tunggu...
Sahabat Castinger
Sahabat Castinger Mohon Tunggu... -

Belajar 'Nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hey, Pemuda Muslim Ente Mau Kemana?

28 Oktober 2012   12:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:17 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Semangat pemuda jaman sekarang berbeda jauh dengan semangat pemuda dijaman pergerakan. Jika generasi dulu mengangkat pena dan senjata, generasi saat ini mengangkat baju dan rok tinggi-tinggi. Jika generasi jaman dulu gemar membaca dan menguasai puluhan bahasa, generasi sekarang justru rajin mengkonsumsi narkoba dan keranjingan bola. Apa mau dikata keadaan serba paradoks ini telah kita saksikan bersama berlangsung didepan mata siapa saja.

Pandangan dunia (worldview) generasi jaman pergerakan dulu terbukti menyimpang dari tesis Kierkegaard mengenai tahapan eksistensi manusia yang dibagi menjadi tahap estetis, etis dan religius. Pada tahap estestis manusia hanya hidup sesuai mood dan tren zaman. Pada tahap etis manusia mulai menerima kebajikan-kebajikan moral. Prinsip-prinsip hedonistik mulai ditanggalkan. Pada tahap religius manusia sudah menceburkan dirinya dalam realitas Tuhan.

Yang mengherankan tesis Kierkegaard justru mendapat pembenaran dari situasi anak gaul jaman sekarang. Hal yang sangat mengherankan. Kenapa ini justru terjadi pada saat Indonesia telah merdeka. Pada saat Indonesia berkembang menjadi negara yang cukup diperhitungkan.Perhatikan saja pergaulan anak-anak jaman sekarang. Sangat luar biasa sekali. Seperti melesat jauh meninggalkan norma dan akhlak yang dipahami oleh generasi jaman dahulu.

Apakah sebenarnya yang terjadi. Yang jelas menurut Kuntowijoyo (2006) kita telah mengalami perjalanan sosial yang kurang lebih sama dengan masyarakat kapitalis di dunia barat. Kita disini telah mengalami industrialisasi, rasionalisasi ekonomi, urbanisasi, birokratisasi dan pertentangan politik. Kemajuan dalam ilmu dan tekhnologi mempunyai implikasi sosial dan budaya. Ketegangan peradaban modern dapat timbul dari usaha-usaha ilmu pengetahuan untuk mendominasi sistem sosial seluruhnya.

Realitas kehidupan sosial politik yang sudah sedemikian rusak ini seperti mengingatkan kita pada lima fase perkembangan suatu negara dari awal kebangkitan hingga kehancuran seperti disebut Ibn Khaldun (1951). Pertama, tahap sukses menggulingkan lawan-lawan politik. Pada fase ini seorang penguasa menjadi model bagi rakyatnya. Kedua, tahap penguasa mulai sewenang-wenang terhadap rakyat. Ketiga, tahap hidup sentosa menikmati kesenangan dan berfoya-foya. Keempat, tahap kepuasan hati sebagai puncak kekuasaan. Kelima, tahap hidup boros dan berlebih-lebihan. Pada tahap ini penguasa mulai merusak capaian-capaian pendahulunya. Mengutamakan orang-orang yang tidak memiliki ketulusan (munafik), sebaliknya orang-orang yang bersikap kritis dipenjarakan dan dimusuhi. Akhirnya dasar-dasar yang telah dibangun oleh pendahulunya hancur dan negara tersebut pun mengalami kehancuran pula.

Hal yang cukup menggembirakan sebenarnya datang pada saat mahasiswa-mahasiswa menggelorakan semangat reformasi pada 1998. Hanya saja pergantian struktur politik itu tidak sejalan dengan perubahan kultur masyarakat. Globalisasi ternyata lebih berhasil bergerak masuk ke jantung pertahanan kita sebagai masyarakat bangsa dan negara. Identitas kita seperti dirampas tanpa sadar. Dan tak ada lagi yang tersisa kecuali kekacauan-kekacauan cara berfikir dalam memutuskan pilihan-pilihan. Dan ini hampir menimpa seluruh elemen masyarakat dari mulai elite penyelenggara kekuasaan politik dan pemerintahan, kelas sosial menengah hingga masyarakat pelosok dipedesaan.

Ditengah suasana degradasi kehidupan sosio politik semacam ini tiba-tiba Samuel Huntington mengeluarkan warning kepada pemerintah AS. Bahwa akan terjadi benturan peradaban antara barat dan Islam. Teori benturan peradaban (Clash Of Civilization) Huntington ini mengingatkan kita pada seorang Snouck Hurgronje, seorang orientalis yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda pada jaman penjajahan silam. Seperti kebetulan saja. Iraq, Palestina, Afghanistan dan Libanon seperti sengaja digilir. Indonesia dengan penduduk mayoritas muslim pun tak pelak mendapat imbasnya. Media seperti Chomsky katakan tiba-tiba ramai memuat kosa kata teroris. Istilah dan kaum teroris mulai mengakrabi kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia dibuat bertanya-tanya dari manakah munculnya hantu teroris itu gerangan? Sebegitu leluasanya mereka bergerak dan luput dari deteksi awal para intelejen.

Ditengah keterjutan itu masyarakat muslim Indonesia lagi-lagi dihebohkan dengan kehadiran kelompok yang menamakan dirinya Islam Liberal. Aneh memang, seperti dikatakan Afif Hasan (2008) bahwa ditengah usaha mengislamkan dan mengkampanyekan moralitas justru pada saat yang sama ada diantara kita yang berusaha memurtadkan. Umat Islam Indonesia seperti dipaksa berfikir dan bertindak layaknya kaum minoritas yang terlarang menentukan nasibnya sendiri. Moeflich Abdullah (2012) tak kalah sengit menanggapi kemunculan kelompok Islam Liberal. Umat Islam menurutnya tidak perlu berlebihan merespon kehadiran Islam liberal. Sebab kelompok itu tidak berakar apalagi bermassa. Pengaruhnya pun hanya pada kelompok-kelompok elite tertentu dan pada kelompok non muslim. Selebihnya hanya sebuah kegamangan posisi, ekspresi dislokasi dan disorientasi keberislaman dalam keterkungkungan kompetisi antar peradaban.

Mungkinkah sebagai bagian terbesar dari bangsa ini umat Islam telah dilanda stres berkepanjangan yang membuat mereka lupa pada sepak terjang para pahlawan yang begitu gemilang. Para pahlawan yang telah berhasil mengobarkan api semangat melawan penjajahan dan meretas kemerdekaan. Kemungkinan ini sangatlah besar terjadi. Stres seperti dikatakan Scott Hagwood, pakar ingatan, merupakan musuh ingatan yang brutal. Stres bisa membunuh. Stres yang berlebihan bisa merusak beberapa wilayah otak dan menghancurkan sel-sel. Stres bisa menghalangi penerimaan, merintangi penyimpanan dan menghambat proses mengingat informasi.

Stres yang melanda umat Islam ini tentu akibat yang timbul oleh sebab tertentu. Untuk itu Th. Sumartana dalam tulisan pengantar untuk buku Agama dan Nalar Sekuler Dalam Masyarakat Liberal (2002) karya Robert Audi menyatakan "Selama bertahun-tahun penduduk negeri ini telah banyak terombang-ambing dan menderita oleh wacana "sekuler" seperti pembangunan, janji kemakmuran, keadilan, persaudaraan dan lain-lain. Semuanya telah mengecewakan dan mereka justru hidup dalam keadaan yang diametral berbalikan dengan semua retorika ideologis non-agama tersebut. Korupsi merajarela, penindasan dan penghisapan oleh yang mampu dan berkuasa terhadap rakyat. Generasi muda menghadapi rawa-paya pengangguran yang masif. Benturan dengan kekerasan terjadi di hampir semua sektor kehidupan. Suku melawan suku, agama berhadapan dengan agama, kelas sosial berhadapan dengan kelas sosial lain dan seterusnya".

Dalam situasi semacam ini lahirlah kemudian orang-orang baru dalam arena politik. Figur-figur yang tidak menunjukkan karakter bahwa ia adalah seorang elite dan birokrat pada umumnya. Joko Widodo yang Gubernur itu muncul membelah kegaduhan kaum urban Jakarta. Dipuja dan dicintai media. Ia seperti dikatakan Nurcholis Madjid seperti sedang bermaksud membangkitkan psychologycal striking force kaum muslim yang sedang stres dan hilang ingatan itu. Hanya saja saya sendiri masih ragu dan gamang apakah pemuda muslim dan umat Islam lainnya akan segera terbangun dan sembuh dari stres berkepanjangannya. Wallahu A'lam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun