Sayap Nusantara: Kenapa Indonesia Harus Jadi Produsen Pesawat Perintis, Regional, dan Amfibi
Latar Belakang
Indonesia adalah negeri kepulauan yang unik. Dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Rote, terbentang lautan yang lebih luas daripada daratan. Fakta geografis ini bukan sekadar peta, melainkan tantangan logistik dan mobilitas yang luar biasa. Transportasi darat tak bisa menyambung semua wilayah, kapal laut lambat, dan tidak semua pulau memiliki dermaga memadai. Maka, pesawat terbang adalah urat nadi Nusantara.
Namun hingga kini, kemandirian Indonesia dalam transportasi udara masih belum setara dengan kebutuhan strategisnya. Kita punya industri penerbangan seperti PT Dirgantara Indonesia, tetapi kapasitasnya belum maksimal menjawab kebutuhan perintis, regional, apalagi amfibi. Padahal, sejarah pernah menunjukkan bahwa bangsa ini mampu menciptakan pesawat---dari N-250 hingga CN-235---namun proyek besar itu sering tersendat oleh politik dan ekonomi.
Saat ini, Indonesia memerlukan lompatan strategis: membangun kekuatan transportasi udara berbasis produksi sendiri, khususnya pesawat perintis, pesawat regional, dan pesawat amfibi.
1. Kenapa Pesawat Perintis?
Pesawat perintis adalah pesawat kecil, berpenumpang sedikit, yang mampu mendarat di bandara kecil dengan landasan pendek.
Kebutuhan nyata: Ribuan pulau kecil di Maluku, Nusa Tenggara, Papua, hingga Sulawesi tidak punya bandara besar. Akses hanya mungkin dengan pesawat perintis.
Manfaat sosial: Pesawat perintis bisa mengantar logistik, bahan pangan, obat-obatan, bahkan tenaga medis ke daerah terpencil.
Manfaat ekonomi: Perdagangan lokal bisa hidup bila ada jalur udara cepat dan murah. Bayangkan ikan segar dari Maluku bisa sampai ke kota besar dalam hitungan jam, bukan hari.
Negara seperti Kanada dan Brasil sudah lama bergantung pada pesawat perintis untuk menjangkau wilayah terpencil. Indonesia, dengan kepulauan lebih luas, justru lebih membutuhkan pesawat jenis ini.