Mohon tunggu...
Zakki Ahmad Fauzi
Zakki Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Penulis/Blogger

Gemar membaca dan menulis. Dulu sempat suka menggambar sketsa. Suka sejarah, pemerintahan, falsafah, militer, aviasi, perkapalan, dan banyak hal lainnya. Suka anime, manga, manhwa, dan manhua.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sophocracy : Daulat Hikmah-Kebijaksanaan (Bagian I)

9 September 2025   17:55 Diperbarui: 9 September 2025   15:56 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sophocracy : Daulat Hikmah-Kebijaksanaan (Bagian I)

May 30, 2014, 12:49 am

oleh Adriano Rusfi*

"Jangan takut mengadakan ciptaan baru. Dan sebaliknya jangan hanya meng-over perkataan lain yang barangkali isinya ada maksud lain" (Wongsonagoro, anggota BPUPK)

*****

Tidak !!!

Para pendiri bangsa ini sama sekali tidak sedang mengimpor sebuah gagasan yang bernama demokrasi. Mereka seluruhnya adalah orang-orang yang bermentalitas ingin merdeka. Bukan hanya merdeka dari penjajahan teritorial, tapi juga merdeka dari penjajahan ideologi, penjajahan konseptual dan penjajahan sistem. Mereka hanya sedang menggali sejarah dan jatidiri bangsa mereka sendiri tentang kehidupan sosial dan kehidupan berbangsa. Lalu mereka menemukan barang tambang yang telah tersimpan lama dalam bumi mereka sendiri : Musyawarah kekeluargaan berdasarkan kearifan dan kebijaksanaan.

Lalu, kenapa mereka menamakannya sebagai demokrasi ???

Hanya karena sebuah gagasan perlu memiliki nama. Ya, sebagaimana sebuah gagaran tentang perilaku antisosial perlu diberi nama "psikopat", sedangkan gagasan tentang orang-orang yang berkelebihan harta perlu diberi label "Kaya". Kebetulan pula, di benua tempat kebanyakan mereka belajar, Eropa, sedang berkembang gagasan tentang sosialisme-demokratik (sosdem), yaitu gagasan untuk menegakkan rejim sosialisme melalui perjuangan parlementer, bukan lewat perjuangan kelas.

Alhasil, demokrasi hanyalah sebuah kata yang dipinjam untuk mengkomunikasikan sebuah maksud. Dengan semangat baik sangka, para pendiri bangsa ini ingin menjadikan kata "demokrasi" sebagai padanan kata bagi sebuah keinginan untuk menjadikan kearifan sosial rakyat Nusantara sebagai modal dasar kehidupan berbangsa bagi negara Indonesia yang akan lahir kelak. Lihatlah Bung Karno, Hatta, Soepomo, Muhammad Yamin atau Agus Salim : Saat mereka berbicara tentang demokrasi, maka yang mereka maksudkan hanyalah melulu tentang musyawarah dan kekeluargaan.

Tapi, Wongsonagoro benar : sebuah kata tak pernah benar-benar bebas nilai. Sejarah berkali-kali telah mengingatkan, bahwa sebuah kata dapat mengkudeta sebuah maksud. Tanpa sebuah kehati-hatian yang layak, sebuah kata bahkan dapat merusak sebuah keyakinan. Dan rupanya nasib inilah yang terjadi pada sila "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" sebagai rumusan asli bangsa ini. Ketika ia dipahami sebagai demokrasi, maka tiba-tiba ia menjadi bermakna : liberalisme, kebebasan bicara, voting, one man -- one vote. Bung Karno menyebutnya "Demokrasi Omong", sedangkan Hatta menamakannya "Demokrasi Totaliter".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun