Pendahuluan
Banyak orang mengira, negara paling sejahtera di dunia pastilah yang paling kaya, paling canggih teknologinya, atau paling tinggi indeks pendapatannya. Tapi dunia baru saja dibuat tercengang. Dalam sebuah studi global bertajuk Global Flourishing Study---kolaborasi antara Harvard University, Baylor University, Gallup, dan Center for Open Science---Indonesia justru menempati peringkat teratas sebagai negara dengan tingkat kesejahteraan menyeluruh (flourishing) tertinggi di dunia.
Penelitian ini melibatkan lebih dari 200.000 responden dari 22 negara, mencakup 64% populasi dunia. Hasilnya dipublikasikan dalam jurnal Nature Mental Health pada akhir April 2025 dan langsung menjadi sorotan berbagai media internasional, termasuk The New York Post dan Fortune.
Berbeda dengan pengukuran kesejahteraan tradisional yang kerap menitikberatkan pada faktor ekonomi semata, konsep flourishing dalam studi ini mencakup kesehatan fisik dan mental, relasi sosial, tujuan hidup, karakter moral, dan stabilitas ekonomi. Dalam semua dimensi tersebut, Indonesia unggul secara konsisten.
"Indonesia tidak menonjol secara ekonomi, tetapi memiliki kekuatan dalam hubungan sosial dan nilai-nilai karakter yang mendukung komunitas," ujar salah satu peneliti, Brendan Case, seperti dikutip The New York Post (5 Mei 2025).
Lalu, bagaimana mungkin negara dengan pendapatan menengah seperti kita bisa mengungguli negara-negara adidaya? Jawabannya mungkin terletak bukan di gedung pencakar langit atau saldo rekening bank, melainkan di warung kopi, gotong royong, dan sapa hangat tetangga setiap pagi. Inilah saatnya kita menyelami lebih dalam: apa sebenarnya makna dari kehidupan yang benar-benar sejahtera?
Apa Itu Flourishing?
Flourishing bukan sekadar perasaan bahagia sesaat. Ia adalah gambaran tentang kehidupan yang berjalan utuh dan seimbang. Dalam studi terbaru ini, flourishing mencakup enam dimensi yang menyatu: kesehatan fisik, kesehatan mental, tujuan hidup, hubungan sosial, karakter moral, dan stabilitas ekonomi.
Dengan kata lain, seseorang dianggap flourishing ketika ia sehat jasmani dan rohani, memiliki arah dan makna hidup, menjalin hubungan yang bermakna dengan orang lain, memiliki karakter yang kokoh, dan mampu memenuhi kebutuhan ekonominya secara stabil. Semua aspek ini saling menguatkan---dan kehilangan satu dimensi saja bisa mengguncang kesejahteraan secara keseluruhan.
Istilah flourishing sendiri banyak dipopulerkan dalam bidang psikologi positif. Martin Seligman, salah satu tokoh utamanya, menyebutnya sebagai keadaan di mana manusia tidak hanya survive, tapi thrive---hidup dengan semangat, makna, dan pertumbuhan. Berbeda dari konsep happiness yang bisa datang dari hal-hal instan, flourishing lebih dalam, lebih menyeluruh.
Indonesia mungkin belum unggul dalam indeks ekonomi global, tapi jika melihat dari lensa flourishing, kita punya modal kuat: nilai kekeluargaan, solidaritas sosial, spiritualitas, serta kebiasaan tolong-menolong yang mengakar. Dalam masyarakat seperti ini, manusia tidak dibiarkan sendirian menghadapi kerasnya hidup. Selalu ada tangan yang terulur, doa yang menyertai, dan komunitas yang menguatkan.
Mengapa Indonesia Bisa Nomor 1?
Ketika dunia sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan teknologi, Indonesia justru menyodorkan satu pelajaran berharga: kebahagiaan tidak harus dibeli, dan kesejahteraan sejati bisa tumbuh dari kehangatan relasi manusia. Inilah alasan mengapa negeri ini bisa menduduki peringkat pertama dalam indeks flourishing.