Dinamika perkembangan elit politik di Jawa Barat menarik untuk diteliti. Ketertarikan tersebut karena terjadi pluktuasi atau pasang surut elit-elit politik Jawa Barat dilihat dari komunitas/kelompok kelompok elit. Pluktuasi tersebut dapat dilihat mulai masa kerajaan Sunda sampai pada pasca kemerdekaan Republik Indonesia, yang dapat berujung pada kegamangan elit-elit lokal. Selain itu, berdampak pada ketidakadaan kelompok elit dominan yang memiliki otoritas tradisional. Hal tersebut sangat berbeda dengan entitas Jawa padahal Jawa Barat adalah bagian dari kepulauan Jawa. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta masih kuat dominasi otoritas tradisional pada kerajaan Yogya dan Keraton Surakarta, sedangkan di Jawa Timur terjadi peralihan dominasi dari otoritas monarki ke otoritas kiai (kaum Nahdiyin). Yang secara rangkaian historis memiliki keterkaitan dengan wali songo. Sedangkan Wali Songo memiliki runtutan sejarah dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.
Fenomena politik Jawa Barat tersebut, sangat membuka ruang untuk masuknya nilai-nilai demokrasi, karena tidak ada dominasi otoritas tradisional yang berdampak positif pada pembentukan budaya politik yang liberal, selain itu membuka ruang bagi seluruh elemen untuk menjadi elit politik. Adapun salah satu syarat dalam berdemokrasi adalah adanya freedom dan equality hak politik. Terdapat beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan antara lain oleh Nina Lubis (1998) yang meneliti tentang kekuasaan kaum menak. Penelitian tersebut lebih terfokus pada satu kelompok kaum menak (keturunan raja-raja Sunda). Begitu juga yang dilakukan oleh peneliti lainnya yang mengkaji tentang Islam dan politik di Jawa Barat seperti yang dilakukan Aiko Kurasawa (1993) tentang mobilisasi masa pada masa penjajahan Jepang, kemudian Hiroko Horikosi (1986) tentang Kiai dan Karl D. Jackson (1990) tentang DI/TII
Peneliltian-penelitian tersebut kurang komprehensif sehingga tidak dapat ditarik garis konkulusinya tentang sirkulasi elit politik di Jawa Barat, karena penelitiannya bersifat parsial. Dalam penelitian ini akan berbeda, karena penelitian ini akan mencoba menggabung produk penelitian tersebut sehingga dapat ditarik benang merah tentang sirkulasi elit politik di Jawa Barat, sekaligus juga mendeteksi nilai-nilai yang dapat relevan dengan perkembangan politik di abad 21 yakni sistem demokrasi. Penelitian ini mulai dari masa kerajaan Sunda, masa kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Mataram (Jawa), masa Islam, masa kolonialisme dan masa pasca kemerdekaan.
- Masa Kerajaan Sunda sampai Era Kolonialisme
Perkembangan lingkaran kekuasaan di Tatar Sunda dimulai sejak Kerajaan Tarumanegara, Selama beberapa abad pusat kerajaan berpindah-pindah, dimulai dari Kerajaan Galuh (Ciamis sekarang), kemudian pindah ke Pakuan Pajajaran (daerah Bogor sekarang),. Setelah Kerajaan Sunda runtuh, wilayah kekuasaannya yang hampir meliputi seluruh Provinsi Jawa Barat sekarang ditambah sebagian Jawa Tengah, terbagi-bagi ke dalam empat pusat kekuasaan yaitu Banten, Cirebon, Sumedanglarang, dan Galuh yang setelah kepindahan pusat kerajaan ke Pakuan Pajajaran masih tetap eksis sebagai kerajaan kecil. Sekitar tahun 1620 Sumedanglarang menyerah kepada Mataram. Kekuasaan Mataram atas Priangan berakhir dengan adanya perjanjian antara Mataram dengan VOC. Dari kekuasaan VOC berpindahpada kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
Perjalanan itu membawa perubahan pada sistem sirkulasi elit, yang semula merupakan raja-raja di Jawa Barat kemudian setelah di bawah kekuasaan Mataram kurang lebih dua abad raja-raja Jawa Barat berubah menjadi bupati kemudian setelah Mataram menyerahkan wilayah Jawa Barat kepada VOC berpindah lagi pada Hindia Belanda, Kemudian pada Inggris dan kepada Hindia kembali.
Sistem peralihan kekuasaan sejak zaman kerajaan Sunda jabatan raja biasanya diwariskan secara turun temurun. Pada masa di bawah kekuasaan Mataram para penguasa di Priangan diangkat menjadi “mantra agung” oleh Sultan Mataram dan berkedudukan sebagai kepala rakyat setempat. Jabatan sebagai kepala rakyat ini pada mulanya bisa dicabut atau dialihkan kepada orang lain sesuai dengan kehendak raja, tetapi lama-kelamaan jabatan ini dapat diwariskan demi menjaga kelangsungan pemerintahan. Demikian juga setelah kekuasaan Sultan Mataram berakhir, prinsip pewarisan jabatan tersebut mendapat dukungan pemerintah kolonial sejak masa VOC hingga Pemerintah Hindia Belanda.
Dalam perkembangan sejarah, konsep tentang kekuasaan dalam tradisi Sunda mengalami perubahan-perubahan baik karena faktor intern maupun ekstern. Dalam tradisi Sunda sebelum pengaruh Mataram masuk, konsep yang bertalian dengan asal-usul dan pelegitimasian kekuasaan tersirat dalam naskah Amanat dari Galunggung. Dalam naskah ini dinyatakan bahwa seseorang dapat menjadi penguasa di suatu daerah apabila ia menguasai kabuyutan di daerah tersebut. Kabuyutan (mandala) adalah tempat keramat atau tempat suci yang mempunyai fungsi sebagai pekuburan leluhur atau tempat pemujaan. Kabuyutan merupakan tempat yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan apabila mendapat serangan dari musuh. Menurut ungkapan ini, kekuasaan berasal dari sesuatu yang keramat, adikodrati, sedangkan kekayaan hanyalah atribut kekuasaan (Nina lubis, 2003:56-68)
Setelah kekuasaan Mataram berakhir, konsep kekuasaan berubah. Dalam berbagai sumber historiografi tradisional banyak disebut konsep pulung atau wahyu sebagai asal kekuasan. Misalnya, dalam sejarah sukapura disebutkan bahwa seseorang itu bisa menjadi bupati bila dititisi pulung bupati terdahulu, sedangkan dalam roman sejarah Pangeran Kornel disebutkan bahwa seseorang bisa berkuasa apabila katibanan nurbuat atau nampi wahyu (dijatuhi nurbuat atau menerima wahyu). Konsep wahyu dikenal dalam tradisi Jawa antara lain sebagai pertanda rahmat atau kurnia dari Yang Maha Kuasa bagi kedudukan raja yang sering digambarkan sebagai bola cahaya biru, hijau, atau putih yang menyilaukan.
Pengaruh Islam sebenarnya secara eksplisit dapat dilihat dalam konsep cahaya nurbuat. Konsep ini secara implisit terdapat dalam sebuah surat dari hoofddjaksaGarut kepada Bupati Sumedang tahun 1883; “… salat ta’at salat hajat, njaeta noediteda, moega pantjer Oeyoat Taloenn, diganjar tjahja nurbuat…” (artinya;… salat taat salah hajat, itulah yang dimohon, semoga pokok Uyut Talun, dianugerahi cahaya nurbuat…”). Jadi bisa ditangkap maknanya demikian, anugerah berupa cahaya nurbuat itu bisa diperoleh berkat sembahyang sunat yang dilakukan yaitu taat (?) dan shalat hajat (Memed Sastrahadiprawira, 1986: 36-91).
Dalam suatu sumber disebutkan bahwa seseorang sah menjadi penguasa apabila, ia terusing ratu, menak rembesing kusumah (keturunan ratu, menak titisan bangsawan) artinya ia adalah keturunan leluhur yang agung dan tak ternoda. Konsep di atas tidak ada bedanya dengan konsep terahing kusumah, rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih (turunan bunga, titisan madu, benih pertapa, turunan mulia) yang dikenal dalam tradisi Mataram (Soemarsaid Moertono, 1985: 62). Ungkapan ini tidak lain dari prinsip kharisma yang ada pada tokoh berwibawa, tokoh unggul.
Perubahan terjadi ketika pemerintah Hindia Belanda menjalankan politik etis. Fungsi bupati dicoba dibersihkan dari tradisi lama. Mereka harus dianggap hanya sebagai salah satu mata rantai dalam dunia birokrasi. Karena itu, mereka perlu lebih mendapatkan pendidkan. Pemerintah Belanda menyediakan pendidikan bagi putra-putra kepala pribumi. Ternyata pendidikan ini bagai pedang bermata dua. Di samping menghasilkan tenaga-tenaga pribumi terdidik, pendidikan Barat juga menghasilkan suatu generasi yang memiliki jiwa baru, antara lain jiwa demokrasi yang diimpor dari Barat. Nilai-nilai baru ini selanjutnya menghasilkan suatu kesadaran berbangsa dan melahirkan organisasi-organisasi pergerakan kemerdekaan.
Dampak dari pendidikan itu di kalangan putra-putra elit lokal (menak) sendiri mulai timbul kecenderungan lain; mereka lebih memilih pendidikan gaya Barat seperti H.B.S. dan perguruan tinggi lainnya bila dibandingkan dengan pendidikan khusus kejuruan untuk para calon amtenar (OSVIA). Setelah lulus, kaum menak muda ini lebih senang memilih pekerjaan-pekerjaan bebas yang bukan pegawai negeri. Sementara itu kaum muda dari kalangan bukan menak, banyak yangmemilih pendidikan OSVIA agar nantinya dapat duduk dalam jabatan birokrasi. Mereka inilah yang nantinya dianggap sebagai pendatang baru dikalangan kaum elit lama.
Perkembangan tersebut telah membuka ruang terjadinya sirkulasi elit dan pergeseran elit Sunda dari sistem monarkhi kepada sistem kualifikasi pendidikan. Akan tetapi masih dapat dikenal putra-putra keturunan elitpolitik lokal lama yang merupakan keturunan raja-raja Sunda dari gelar kebangsawanannya seperti menggunakan gelar kusuma, ningrat, suria dan nagara. Walaupun tidak memiliki wilayah dan kedudukan sebagaimana elit sebelumnya.
- Masa Masuknya Islam
Islam masuk ke Jawa Barat sekitar abad 14, Tokoh Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati (SGJ) sejauh ini dianggap sebagai tokoh penyebar agama Islam di tanah Sunda dan penegak kekuasaan Islam pertama di Cirebon. Di daerah pedalaman Sunda Islamisasi dilakukan oleh kerajaan Sumedanglarang di mana pada tahun 1530 Masehi Sumedanglarang ditaklukan kerajaan Cirebon. Raja Sumedanglarang yang menganut agama Islam adalah Ki Gedeng Sumedang atau dikenal dengan nama Pangeran Santri yang berkedudukan sebagai bawahan Cirebon.
Dengan demikian peyebaran Islam di Jawa Barat dari arah utara oleh kerajaan Cirebon sebagai titik awal masuknya Islam ke tatar Sunda kemudian dari arah selatan oleh kerajaan Banten yaitu oleh Sultan Hasanuddin yang merupakan putra dari Sunan Gunung Jati Cirebon sedangkan untuk daerah pedalaman yang meliputi daerah priangan melalui kerajaan Sumedanglarang sebagai bawahan kerajaan Cirebon.
Pada masa sesudah agama Islam berpengaruh kuat, tokoh dewa digantikan oleh tokoh-tokoh manusia yang bersipat histories legendaries atau tokoh-tokoh besar yang dihormati masyarakat seperti Nabi. Misalnya, dalam Carita Purwa Caruban Nagari diceritakan bagaimana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati) dilegitimasikan sebagai penguasa Cirebon sekaligus sebagai penyebar agama Islam di Jawa Barat. Silsilahnya dibuat demikian; dari pihak ayah, Sunan Gunung Djati adalah keturunan ke-22 Nabi Muhammad s.a.w., dan dari pihak ibu, ia adalah cucu Prabu Siliwangi, Raja Padjadjaran yang legendaris. Ada cara lain untuk melegitimasikan kekuasaan, yaitu dengan pemberian pusaka atau gelar untuk membuktikan adanya kesinambungan antara penguasa baru dan lama. Misalnya, dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, diceritakan bahwa Prabu Siliwangi, Raja Padjadjaran merestui putranya, Pangeran Cakrabuana menjadi Penguasa Caruban (nantinya menjadi Cirebon) dengan cara mengirimkan tanda keprabuan dan memberi gelar penobatan, Sri Mangana (M.C. Ricklefs, 1991: 57).
- Upaya Mengembalikan Otoritas Tradisional
1.Berdirinya Negara Pasundan
Negara Pasundan pernah di proklamasikan oleh seorang menak Sunda yakni Raden Aria Muhammad Musa Suria Kartalegawa pada tanggal 4 Mei 1947. Ia adalah mantan Bupati Garut (1929-1944). Ia sebagai orang Sunda asli merasa memiliki hak tradisional untuk memimpin Jawa Barat. Akan tetapi untuk daerah Jawa Barat yang merupakan wilayah Republik Indonesia ternyata oleh pemerintah pusat diangkat seorang gubernur yang bukan orang Sunda.
Berdasar itu Suria Kartalegawa membentuk PRP dengan tujuan mencapai kesempurnaan dan kemuliaan Negara Pasundan yang merdeka berdaulat dan berdasarkan demokrasi (kerakyatan) yang untuk sementara waktu dalam lingkungan kerajaan Belanda. Negara Pasundan Katalegawa tidak mendapat respon positif dari masyarakat Jawa Barat sehingga Negara Pasundan Kartalegawa tidak dapat diteruskan.
Elit-elit Jawa Barat pernah mengadakan beberapa kali konfrensi atas rekayasa dari pemerintah Hindia Belanda dalam rangka memecah belah Negara Republik Indonesia. Konferensi pertama diadakan di Kota Bandung pada tanggal 13-18 Oktober 1947 yang bertujuan untuk membentuk pemerintahan sendiri.
Konfrensi kedua tanggal 16-20 Desember 1947 di Bandung. Konferensi ketiga tanggal 23 Pebruari 1948 di Bandung juga. Dalam konferensi ketiga diputuskan berdiri Negara Jawa Barat. Kemudian dipilih Wali Negarayaitu R.A.A.M. Wiranatakusumah. Pada waktu itu ia sedang menjabat ketua DPA RI di Yogyakarta. Ia mendapat ijin dari Presiden RI Soekarno menerima jabatan itu kemudian ia menunjuk R. Adil Puradiredja sebagai formatur kabinet (Perdana Menteri). Negara pasundan kedua ini tidak berlangsung lama pada tanggal 17 Desember 1949 dalam sidang parlemen mengeluarkan pernyataan tentang keikhlasan untuk meletakkan jabatan, apabila keamanan dalam negeri telah terjamin. Pernyataan itu dikeluarkan setelah penyambutan dalam upacara pengambilan sumpah dan janji Presiden RIS di Yogyakarta. Dengan demikian Negara Pasundan kedua dibubarkan dan bergabung kembali dalam NKRI.
2.DI/TII
Peristiwa Darul Islam (DI/TII) diprakarsai oleh Kartosoewiryo pada tahun 1948-1968. Ia mula-mula memproklamasikan Negara Islam pada 14 Agustus 1945, tetapi kemudian memberikan dukungannya kepada Republik yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta. Kemudian ia aktif di Masyumi, menjadi anggota Dewan Pimpinan Partai dan kemudian menjadi komisaris Jawa Barat (Karl D. Jackson, 1990: 30-32).
Kemunculan pemberontakan DI/TII paling tidak ada dua faktor yang melatar belakanginya yaitu pertama, terjadinya kekosongan politik di masa awal kemerdekaan dengan munculnya agresi militer ke I dan II Belanda dilanjutkan dengan perjanjian linggar jati dan renville, di mana secara politis sangat merugikan Indonesia sehingga muncul kekecewaan bagi Kartosoewiryo di Jawa Barat yang harus meninggalkan Jawa Barat hijrah ke Yogyakarta. Faktor kedua kuatnya niat Kartosoewiryo mendirikan Negara Islam Indonesia
Dengan kedua faktor itulah seorang Kartosoewiryo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat yang menunjukkan kekecewaan kepada para pemimpin Republik atas kegagalan mereka dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui perundingan-perundiangan dengan pihak Belanda yang senantiasa merugikan Indonesia. Selain itu juga aspek keterwakilan golongan Islam dalam konstituante yang tidak menunjukkan keseluruhan elemen Islam terwakili dalam konstituante serta aspirasi politik golongan Islam yang kurang terakomodir secara baik dalam sidang-sidang konstituante walaupun pada akhirnya konstituante mengalami kegagalan dalam menentukan UUD sehingga diakhiri dengan lahirnya Dekrit Presiden tahun 1959.
d. Perputan Elit Pasca Kemerdekaan
Pasca kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, sirkulasi elit semakin dinamis, tidak ketinggalan di Jawa Barat sebagai bagian dari NKRI. Kedinamisan tersebut disebabkan seleksi elit dilakukan melalui sistem demokrasi yang antara lain melalui pemilu. Pemilu pertama tahun 1955 diikuti oleh Parpol dan Perorangan, peraih suara terbanyak di Jawa Barat adalah Masyumi yang berhasil mengumpulkan 26,5 %, disusul oleh PNI dengan persentase 22,1 %, PKI (10, 9 %), NU (9,7 %), serta PSII dan Perti (masing-masing 5,7 %).
Pemilu kedua tahun 1971 merupakan Pemilu pertama di Era Orde Baru, diikuti10 partai. Hasil Pemilu di Jawa Barat, Sekber Golkar mengumpulkan7.625. 797 (76,12%), NU meraih 1.310.679 (13,08%), Parmusi 399.730 (3,99%), PSII 304.989 (3,04%) dan PNI meraih 172.551 (1,72%), sedangkan 5 partai lainnya, yaitu Perti, Perkindo, Partai Katholik, Murba, dan IPKI hanya mampu meraih suara masing-masing 55.315, 12.013, 40.679, 10.042 dan 69.913 suara, yang jika dijumlahkan suara yang diraih kelima partai itu dipersentasikan hanya 2,05%.
Pemilu selanjutnya di era Orde Baru mulai pemilu 1977 sampai pemilu 1997 hanya diikuti tiga partai yakni Golkar, PPP dan PDI. Adapun hasil Pemilu 1977, Golkar memperoleh 66,27%, PPP 28,54% dan PDI 5,19%. Pada Pemilu 1982 Golkar memperoleh 63,34%, PPP 27,16% dan PDI meraih 9,5%. Sedangkan Pemilu 1987Golkar memperoleh 71,3%, PDI 14,9% dan PPP 13,8%. Pada pemilu 1992, Golkar Jawa Barat meraih 70,49%, PDI 14,58%.
Pemilu 1997 merupakan pemilu yang berkaitan dengan awal dari krisis ekonomi. Di Jawa Barat Golkar masih menjadi partai peraih suara mayoritas untuk tingkat nasional (DPR RI) Golkar mendapatkan 16.709.824 suara, disusul PPP yang mendapatkan suara 6.003.471 dan ketiga ditempati PDI yang meraih suara 387.938 suara. Adapun di tingkat provinsi (DPRD) Jawa Barat Golkar meraih 16.518.351 suara, PPP meraih 5.991.973 suara dan PDI meraih suara terendah yaitu 383.043 suara.
Pemilu 1999 merupakan pemilu yang prematur atau pemilu yang dipercepat karena seiring dengan krisis kepemimpinan pasca turunnya Presiden Soeharto pada tahun 1998 digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibi. Pemilu 1999 diikuti48 partai. PDIP muncul sebagai pemenang meraih 32,21%, Partai Golkar 23,93 %, PPP 15,14%, PAN 7,45%, PKB 6,76%, PBB 3,81%, PK 2,06%, PKP 1,09%, dan partai-partai lainnya hanya memperoleh di bawah 1%.
Pemilu 2004 merupakan pemilu yang sangat demokratis sehingga dengan pemilu ini Indonesia mendapatkan beberapa penghargaan internasional atas terselenggaranya pemilu yang demokratis, aman dan tertib. Pemilu 2004 sebagai produk dari amandemen UUD 1945 yang dilanjutkan dengan perubahan Undang-undang politik sehingga peserta pemilu 2004 diikuti dari partai politik untuk memilih anggota DPR dan diikuti peserta perorangan untuk anggota DPD. Pemilu 2004 adalah pemilu untuk memilih dua lembaga legislatif.
Pemilu di Jawa Barat pada tahun 2004 diikuti 24 partai politik sebagaimana di provinsi lain. Sedangkan peserta pemilu perseorangan diikuti oleh 42 orang untuk memilih anggota DPD. Pemilihan anggota DPD dimenangkan oleh Ginandjar Kartasasmita pada urutan pertama disusul Pangeran Arief Natadiningrat pada urutan kedua. Ketiga adalah Mohammad Surya dan keempat Sofyan Yahya. Pada pemilu 2004 terjadi perubahan suhu politik dengan kembalinya kemenangan bagi partai Golkar yang memperoleh 27,90%, PDIP 17,58%, PKS 11,63%, PPP 10,56%, Partai Demokrat 7,78%, PKB 5,22%, PAN 5,14%, PBB 2,96%, PKPB 2,09%, PBR 1,88%, PDS 1,17%. Sedangkan partai yang lainnya memperoleh suara di bawah I%.
Pergeseran elit politik pasca kemerdekaan di Jawa Barat semakin terbuka, karena proses pembentukan elit dilakukan secara demokratis, yakni melalui pemilu. Pemilu membuka ruang bagi seluruh komponen masyarakat untuk maju menjadi elit baru, dengan terlebih dahulu aktif di partai politik. Partai politik sebagai peserta pemilu dengan sistem multi partai memungkinkan terjadi rekruitmen elit politik secara besar-besaran. Di samping itu, untuk meraih dukungan dari seluruh eleman masyarakat, maka partai politik merekruit dari berbagai profesi, dan lapisan masyrakat, mulai dari petani, buruh, intelektual, militer dll. Pada masa inilah pergeseran elit menuju kepada kualitas dan kapabilitas elit. Hal tersebut merupakan bagian dari sebuah perkembangan elit.
Jurnal Budaya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI