Mohon tunggu...
fatma ariyanti
fatma ariyanti Mohon Tunggu... Buruh - Citizen

Point of view orang ke-3

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

K-Pop, Self-Healing dan Stereotip (Part 2)

2 Februari 2021   13:50 Diperbarui: 2 Februari 2021   13:57 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Di part 1, saya tidak terlalu menyinggung secara eksplisit tentang self-healing, namun saya sajikan sebuah cerita seorang ayah dari sudut pandang orang tua yang sama sekali tidak mengetahui apalagi memahami k-pop wave, dan stereotip masyarakat non-kpopers (tidak semuanya) yang memberi label tidak baik pada kpopers.

Tidak semuanya ya.. tidak semuanya non-kpopers membenci kpopers dan tidak semuanya kpopers melewati batas. Terkadang yang menjadi pemicu stereotip biasanya adalah para kpopers yang tidak sengaja (atau mungkin sengaja) membuatnya menjadi mencolok di tengah-tengah masyarakat dan masyarakat yang tidak menerima hal tersebut menjadi suatu kebaruan atau pengaruh globalisasi internasional. Sehingga K-pop wave dianggap cerminan menurunnya moral atau nasionalisme.

Padahal, anggapan semacam itu tidak dapat dibuktikan secara entitas pada keseluruhan k-popers yang tersebar. Seperti contohnya telah saya sebutkan di part 1, mengenai kepedulian sosial, humanisme, toleransi dan lain-lain. 

Dan jika ditimbang kembali, masuknya budaya k-popers ke Indonesia tidak sepenuhnya berdampak negatif, dan sebenarnya ini berlaku untuk semua budaya baru yang masuk ke Indonesia dan bukan hanya K-pop wave.

Jika disebutkan tentu tidak terhitung, seperti pecinta Anime dari jepang, lagu dan film western dengan CGI yang canggih, sinetron dari India, dan sebagainya. Namun K-popers lebih dianggap meresahkan seperti kekuatannya di media sosial dan lain-lain.

Di beberapa penelitian dan artikel yang tersebar luas, banyak pembahasan dan diskusi mengenai K-pop dan K-popers yang berkaitan erat dengan Self-Healing dan Mental-Care. Ini bukan hanya wacana semata.

Meskipun di video tersebut, remaja perempuan ini menyebut BTS, dan opininya mengenai bahwa grup tersebut berbeda dari yang lain, realitanya pengaruhnya hampir sama dengan idol grup dan fanbase lainnya. Idol atau grup idol favorit mereka (yang notabenenya adalah public figure) menjadi penghibur ketika dalam kondisi tidak baik (secara mental), itu bukan hal yang dibuat-buat.

Pada dasarnya penyakit mental sangat berbahaya, dan K-pop wave menjadi jalan pintas sekaligus obat sebagai pereda perasaan mereka untuk menghadapi hidup berat. Tentu saja... tentu saja... tidak semuanya. Kembali lagi, bahwa setiap orang memiliki kepribadian, sifat serta kondisi kehidupan yang berbeda. Namun jika anda tetap menyebutnya berlebihan, saya rasa tidak akan ada habisnya.

Anak-anak remaja dimana sering kehilangan jati diri atau tengah mencari jati diri, mencari kenyamanan dalam perasaan mereka, seiring berjalannya waktu mereka ada yang memutuskan bertahan, namun tidak sedikit yang memutuskan untuk meninggalkan semuanya, dan anda semua sudah tahu apa yang terjadi selanjutnya. Ya, suicidal event atau kejadian bunuh diri.

Jika non-kpopers bertanya kepada para kpopers satu persatu... ya, satu persatu. Maka jawaban dari pertanyaan "Alasan terbesar dari mereka menyukai k-pop" adalah karena hal itu menghibur mereka, tentu saja termasuk visual mereka yang good-looking, kepiawaian diatas panggung, lagu-lagu dan video yang segar, menyenangkan bahkan emosianal juga termasuk dalam alasan tersebut.

Apakah anda tidak menyukai orang tampan atau cantik? Namun bukan itu tujuannya, wahai Non-kpopers!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun