Secarik kata hikmah di atas sudah cukup memberikan kita rambu-rambu bahwa tidak segala ucapan dapat diucapkan di segala tempat ataupun semua orang. Begitu pula dalam bercanda, kita harus mampu membedakan mana yang cocok untuk dibumbui canda dan mana yang tidak. Jangan sampai karena asal melempar canda, candaan tersebut justru kembali menjadi boomerang pada diri kita sendiri, dalam artian kita sendiri yang akan rugi karena tak mampu menjaga lisan.
"Keselamatan manusia ada pada penjagaan lisannya."
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rosulullah pernah bercanda pada seorang nenek. Sang nenek minta didoakan agar masuk surga oleh Rasulullah. Rosulullah menjawab bahwa tidak mungkin surga dapat dimasuki olehnya karena ia sudah tua. Sontak sang nenek sedih. Namun Rosulullah pun langsung mengatakan bahwa semua yang masuk surga akan kembali menjadi gadis-gadis perawan, sehingga nenekpun bisa masuk surga. Akhirnya sang nenek pun kembali tersenyum.
Begitulah, Rosulullah pun pernah bercanda. Namun candaan beliau tak pernah ada dusta ataupun terkesan mengejak bahkan menyakiti hati orang lain. Akhlak seperti itulah yang patut kita jadikan contoh dalam seni bercanda kita pada lawan bicara.
Maka berhati-hatilah dalam melempar canda. Memang niat hati ingin mencairkan suasana ataupun sedang ingin membuat lawan bicara kita tersenyum. Namun, jika ternyata yang terjadi malah sebaliknya maka cepat-cepatlah menyadari dan meminta maaf agar tidak terjadi kekecewaan atau kekesalan yang berlanjut pada lawan bicara kita.
Sejatinya tulisan ini tercipta karena saya baru saja mengalami dampak dari sembarangan melempar canda. Alih-alih mendapatkan candaan kembali, justru yang terjadi malah saya kena omel. Sadar, memang saya sudah salah melempar canda, semoga saja candaan ngawur saya dimaafkan yaa...
Terimakasih :)