DPR: Di Bawah Pohon Rindang

DPR: Di Bawah Pohon Rindang

Di lingkungan Universitas Indraprasta PGRI, ada sebuah tempat yang begitu akrab di telinga sekaligus di hati para mahasiswa: DPR, singkatan dari Di Bawah Pohon Rindang. Sekilas, ia hanyalah ruang terbuka di halaman depan kampus, sebuah taman sederhana yang dinaungi pohon-pohon ketapang. Namun, bagi banyak mahasiswa, DPR bukan sekadar tempat berteduh, melainkan ruang hidup yang penuh cerita.

Setiap hari, selama kampus berdenyut dengan aktivitasnya, DPR nyaris tak pernah sepi. Kursi-kursi sederhana di bawah rindangnya dedaunan menjadi saksi tawa yang pecah, keluh kesah yang ditumpahkan, dan obrolan ringan yang tak pernah habis. Ada yang datang untuk sekadar melepas penat setelah kuliah panjang, ada pula yang menjadikan DPR sebagai kedai kopi dadakan, tempat bercengkerama sambil menyeruput minuman hangat. Tak jarang, diskusi-diskusi serius soal organisasi, politik kampus, bahkan urusan bangsa, bergulir hangat di tempat ini.

Bagi saya pribadi, DPR adalah lebih dari sekadar ruang terbuka. Ia kerap menjelma menjadi ruang baca sunyi, tempat saya membuka lembar demi lembar buku dengan ditemani segelas kopi. Kadang ia terasa seperti ruang konseling, di mana persoalan hidup dituturkan, dan sahabat menjadi pendengar yang setia. Kadang ia berubah menjadi rumah kedua, tempat saya menemukan keluarga baru dalam tawa teman-teman yang tulus. Di DPR, perasaan bisa ditumpahkan apa adanya; sedih, lelah, bahagia, rindu, semuanya diterima, semuanya mendapat tempat.

Maka, bagi saya, DPR bukan sekadar singkatan "Di Bawah Pohon Rindang". Ia adalah simbol. Simbol kebersamaan, tempat di mana hati-hati yang letih menemukan jeda, di mana ide-ide lahir tanpa batas, dan di mana kenangan mahasiswa terukir dengan sederhana namun begitu dalam. DPR adalah rumah tanpa dinding, ruang tanpa pintu, namun selalu terbuka bagi siapa pun yang ingin singgah, entah untuk menitipkan tawa, curhat panjang, atau sekadar menikmati hembusan angin sambil menunggu waktu berlalu.