Mohon tunggu...
Fatkhur Rahman
Fatkhur Rahman Mohon Tunggu... Freelancer - Penerjemah Lepas EN >< ID

Penerjemah Lepas EN >< ID

Selanjutnya

Tutup

Politik

DPD Mengawasi Perda?

9 Mei 2018   09:42 Diperbarui: 9 Mei 2018   10:03 3370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.merdeka.com

Amandemen UUD 1945 meniupkan angin perubahan dalam kelembagaan negara Indonesia. Perubahan tersebut terjadi salah satunya di cabang kekuasaan legislatif. Menurut UUD 1945 praamandemen, Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Kini, UD dan UG telah dihapus. Sebagai gantinya, dibentuklah Dewan Perwakilan Daerah. Maka, pascaamandemen konstitusi, MPR terdiri dari para legislator yang duduk di DPR dan DPD.

Dasar filosofis pembentukan DPD adalah agar tercipta mekanisme saling saling mengawasi dan mengimbangi di internal parlemen. Namun, alih-alih menciptakan sistem bikameral yang kuat, Pasal 22D UUD 1945 justru membatasi kewenangan DPD hanya dalam hal pengajuan dan pembahasan rancangan undang-undang yang terkait dengan daerah.

Berbanding terbalik dengan DPR dan presiden, DPD tidak berwenang memberikan persetujuan terhadap RUU. Selain kewenangan legislasi, DPD sebenarnya juga dapat mengawasi pelaksanaan UU tentang daerah. Namun, hasil pengawasan tersebut hanya menjadi bahan pertimbangan bagi DPR untuk ditindaklanjuti.

Seakan lepas dari sorotan publik, fungsi pengawasan DPD dimuat dalam Pasal 249 ayat (1) huruf j UU MD3 yang baru direvisi beberapa waktu yang lalu. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa DPD berwenang mengawasi peraturan daerah secara preventif dan represif. Tulisan ini hendak membahas poin-poin yang harus diperhatikan dalam pengawasan perda oleh DPD.

Pertama, kewenangan DPD untuk mengawasi perda bertentangan dengan konstitusi. Berdasarkan Pasal 22D ayat (3) UUD 1945, objek pengawasan DPD terbatas pada pelaksanaan UU yang terkait dengan daerah. Frasa "pelaksanaan undang-undang" harus dimaknai sejauh mana suatu UU diterapkan, sehingga fungsi pengawasan DPD tidak dapat menyentuh materi muatan peraturan pelaksanaan UU. Kewenangan pembentukan perda tidak hanya merupakan pelaksanaan UU karena diatur dalam UUD 1945.

Lebih lanjut, Pasal 14 UU12/2011 juncto Pasal 236 ayat (3) UU23/2014 mengatur bahwa perda memuat materi muatan penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, kondisi khusus daerah, dan/atau penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Kedua, UUD 1945 telah menentukan dua jalur pengujian peraturan perundang-undangan. Jalur pertama adalah judicial review UU terhadap UUD oleh Mahkamah Konstitusi. Jalur berikutnya ialah pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU oleh Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, perda termasuk dalam peraturan perundang-undangan di bawah UU, sehingga hanya dapat diuji di MA. Pengawasan perda oleh DPD akan menimbulkan tumpang tindih wewenang antara kamar kedua parlemen dan MA.

Akan lebih baik jika kewenangan MA untuk menguji perda dimaksimalkan sebab selama ini justru pemerintah pusat yang lebih giat membatalkan perda. Dikutip dari laman kabar24.bisnis.com (23 April 2018), Robert Endi Jaweng mengatakan bahwa selama era otonomi daerah jumlah perda yang dibatalkan MA tidak sampai menyentuh angka 100. Jumlah ini jauh di bawah pembatalan 4.000-an perda oleh pemerintah pusat.

Ketiga, kewenangan DPD untuk mengawasi perda secara preventif berpotensi menimbulkan tubrukan kewenangan dengan pemerintah pusat. Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, suatu rancangan perda yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan kepala daerah harus mendapatkan nomor register dari Menteri Dalam Negeri (untuk perda provinsi) atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (untuk perda kabupaten/kota) sebelum diundangkan dalam lembaran daerah.

Bahkan, raperda yang mengatur tentang keuangan dan tata ruang daerah harus dievaluasi Mendagri (untuk raperda provinsi) atau gubernur (untuk raperda kabupaten/kota). Dalam evaluasi tersebut, Mendagri atau gubernur berkoordinasi dengan Menteri Keuangan atau Menteri Agraria dan Tata Ruang. Bila disetujui, hasil evaluasi diikuti dengan pemberian nomor register.

Keempat, meskipun dihasilkan melalui pergulatan politik di DPRD, perda memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara umum. Suka atau tidak suka, perda yang telah diundangkan harus diterima keberlakuannya karena suatu peraturan harus dianggap benar sampai ada pembatalannya. Proses pembahasan raperda yang diwarnai tawar-menawar politik membuka kemungkinan pertentangan antara perda dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Padahal, menurut teori norma berjenjang, semakin tinggi kaidah hukum, semakin kuat pula kekuatan hukumnya. Maka, diperlukan pengujian dengan parameter hukum oleh lembaga yang berkompeten agar perda tetap berada dalam koridor yang legal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun