Mohon tunggu...
Ali Fasya
Ali Fasya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Jakarta

hobi menulis dan nonton film

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nuruddin al-Raniri, Ulama yang Meluruskan Paham Wujudiyyah di Aceh

5 November 2022   13:00 Diperbarui: 5 November 2022   13:10 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Latar Belakang Al-Raniri

Nuruddin Muhammad bin Ali Hasanji al-Hamid al-Syafi'i al-'Aydrusi al-Raniri adalah seorang nama ulama yang sangat masyhur di kesultanan Aceh pada masanya. Ia biasa dikenal dengan sebutan al-Raniri. Ia adalah seoarang ulama mujadid paling penting di Nusantara pada abad ke-17. Al-Raniri lahir di sebuah kota bernama Ranir, kota yang terletak di Pantai Gujarat (India) dekat pelabuhan. Dari sebuah nama tempat ia dilahirkan ini adalah menjadi asal usul laqob namanya bertambah menjadi "al-Raniri". Begitupun dengan marga yang disandangkan kepadanya "al-'Aydrusi", menandakan ia adalah seorang sayyid, keturunan Nabi Muhammad SAW. Terlepas dari itu semua ia lebih terkenal sebagai ulama besar dari Melayu-Indonesia dibanding dari India ataupun Arab. Sebab, dikatakan bahwa ibunya adalah seoarang Melayu-Aceh dan ayahnya seorang Arab-Hadhrami. Hal itu dikatakan karena al-Raniri pernah menjabat sebagai Syekh al-Islam di Kesultanan Aceh lebih kurang Sembilan tahun menetap di sana. Para sejarawan hanya mengetahui tahun kematian al-Raniri pada 1068/1658, namun ada indikasi bahwa ia lahir menjelang akhir abad ke-16. 

Al-Raniri memulai pendidikan pertamanya di Ranir, Gujarat. Guru yang paling terkenal di Negeri India ketika ia kecil, bernama Abu Hafs 'Umar bin 'Abdullah Ba Syayban al-Tarimi al-Hadhrami (w.1656) atau biasa dikenal dengan Sayyid 'Umar al-'Aydarus. Di sana, al-Raniri banyak menimba ilmu-ilmu syariat, hadist dan kalam, namun yang paling menonjol pada dirinya adalah ilmu tasawuf. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditunjuknya al-Raniri ketika itu sebagai khalifah/guru mursyid dalam Tarekat Rifa'iyah oleh gurunya, Sayyid 'Umar al-'Aydarus. Tetapi, Rifa’iyah bukanlah satu-satunya tarekat yang dikaitkanya. Ia juga mempunyai silsilah Tarekat Aydrusiyah dan Qadiriyah. 

Al-Raniri kemudian melanjutkan pendidikannya ke Hadramaut. Menurut Azyumardi, ia tidak mendapatkan informasi mengenai guru-guru dan rentang waktu yang al-Raniri habiskan pada saat di Hadramaut, yang jelas, setelah itu ia pergi langsung ke Haramayn. Ditandai dengan kesaksian al-Hasani bahwa al-Raniri berada di Mekkah dan Madinah sekitar 1620/1621 sewaktu ia menjalankan ibadah haji. Tidak diketahui persis kapan al-Raniri menginjakan kakinya di Tanah Melayu, namun Azyumardi mengatakan bahwa ada bukti al-Raniri mulai singgah di Tanah Melayu, antara Aceh atau Pahang Jazirah Melayu pada 1621 dan 1637. 

Al-Raniri menjadi Syekh al-Islam menggantikan syekh al-Islam yang telah mangkat bersamaan dengan Sultan Is-kandar Muda, yang bernama Syamsuddin al-Samatrani, ia adalah seorang mistiko-filosofis wujudiyah murid dari Hamzah al-Fansuri. Perlu diketahui bahwa paham “wujudi-yah” ini adalah suatu paham dalam salah satu sekte kesufi-an yang dianggap sesat. Pasalnya konsep paham wujudiyah itu mendoktrin dengan menganggap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah emanasi (pancaran) tuhan itu sendiri, yang artinya menyamakan tuhan dengan makhluk, karenanya itu sesat. Semua konsep-konsep inti ini men-jadikan terdorongnya para penentang mereka. 

Al-Raniri adalah tokoh Asy’ariyyah (Ahl-Sunnah wa al-Jama’ah) yang paling menonjol di antara mereka, untuk menuduh mereka sebagai panteis. Al-Raniri hidup sebagai Syekh al-Islam di Aceh selama tujuh tahun. Ia adalah seorang alim, mufti dan ulama yang produktif, yang mencurahkan banyak tenaga untuk menentang doktrin Wujudiyah di Kesultanan Aceh pada masanya. Al-Raniri juga banyak meninggalkan pengaruh penting ketika ia menetap di Melayu-Aceh.

Al-Raniri Meluruskan Akidah Menyimpang

Pada paruh pertama abad ke-17, pemikiran dan praktik keagamaan keislaman Kesultanan Aceh khususnya mengenai tauhid (ilmu ketuhanan) itu dipengaruhi oleh seorang ulama yang berpaham mistiko-filosofis wujudiyah (wahdah al-wujud dari tasawuf) bernama Hamzah Fansuri. Ia ketika itu menjabat sebagai Syekh al-Islam (mufti) di Kesultanan Aceh, tepatnya pada pemerintahan Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah (berkuasa 1589-1602), namun Hamzah Fansuri pun tidak sendiri dalam menyebarkan pemahamannya di Kesultanan Aceh. Menurut para ahli, ia mempunyai partner bernama Syamsuddin al-Samatrani yang dikatakan bahwa hubungan antara keduanya itu adalah sahabat. Ini menyiratkan semacam hubungan guru-murid, persis apa yang dikemukakan dalam buku Jaringan Ulama karya Azyumardi; di dalam buku itu menegaskan bahawa Syamsuddin adalah murid dari Hamzah.

Pemahaman mistiko-filosofis wujudiyah ini semakin menjadi-jadi setelah Syamsuddin al-Samatrani ditetapkan sebagai pengganti Hamzah Fansuri yang ketika itu menjadi Syekh al-Islam di Kesultanan Aceh, namun perbedaannya Syamsuddin ini menjabat pada tampuk pemerintahan berikutnya yakni Sultan Iskandar Muda. Di bawah tampuk pemerintah Sultan Iskandar Muda, Syamsuddin al-Samatrani ini dengan leluasanya menyebarkan paham Wujudiyahnya dengan memanfaatkan jabatannya sebagai mufti di Kesultanan Aceh dan mentransfer doktrin-doktrinya dengan membuat karya yang mengacu pada pemahamannya tersebut.

Pemahaman ini kemudian mulai meredup setelah al-Raniri menjadi Syekh al-Islam (mufti) menggantikan Syamsuddin al-Samatrani yang telah mangkat. Naquib Al-Attas mengatakan bahwa al-Raniri telah berhasil menjadi tokoh ulama yang ketika itu bisa menjelaskan doktrin-doktrin keliru dari para ulama Wujudiyah yang disebutnya sebagai “sufi-gadungan” (pseudo-sufi)

Al-Raniri seorang ulama yang membawa paham tauhid Asy’ariyah berhasil membebaskan Kesultanan dan masyarakat Aceh dari paham mistiko-filosofis wujudiyah yang sesat, yakni dengan menggunakan kekuasaannya sebagai Syekh al-Islam/mufti Kesultanan Aceh. Namun, al-Raniri bertindak lebih jauh dengan mengeluarkan fatwa yang mengarah pada pembinasaan orang-orang sesat khususnya para pengikut Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Samatrani yang menolak melepaskan keyakinan dan meninggalkan praktik-praktik sesat mereka, dan membakar habis seluruh karangan mereka hingga menjadi abu, sampai akhirnya al-Raniri ini digugat oleh penerus estafetnya sendiri dalam akidah ahlusunnah wal jama’ah bernama Abdurauf al-Singkili.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun