Mohon tunggu...
Muhammad Fajar Siddiq
Muhammad Fajar Siddiq Mohon Tunggu... Freelancer - Docta Ignoratia

Menjadi pintar karena bodoh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jadilah Ulama Walaupun Bukan Seorang Ahli Agama!

27 Maret 2020   09:42 Diperbarui: 27 Maret 2020   10:05 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ilmu adalah suatu hal yang tinggi di dalam islam. Hal ini dapat kita buktikan dengan wahyu yang pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad. Apa yang pertama kali diperintahkan kepada Nabi Muhammad? Shalat wajib? Shaum ramadhan? Ngebaperin siti khadijah? Atau nyeleding Abu Jahal? Salah semua! Perintah pertama yang diberikan kepada beliau adalah perintah membaca yang merupakan simbol dasar dari kognisi atau proses memperoleh ilmu pengetahuan. Allah berfirman:

 

"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan"

(Q.S. Al-Alaq: 1)

Lihat? Bisa kita bayangin bareng, kan, gimana isi dari Al-Quran itu sendiri jika kata pengantarnya saja dibuka dengan perintah untuk mencari ilmu? Pasti dijamin insightful banget! Apa keindahannya sebatas itu? Santai... dibalik ayat ini, masih ada makna yang sumur banget! [read: dalem banget!]. 

Sebenernya di dalam bahasa arab istilah membaca itu ada tiga macam: Membaca menggunakan istilah rattala (tartil), membaca yang menggunakan kata tala (tilawah), dan membaca yang menggunakan kata qara'a (qira'ah). Masing-masing dari kata itu memiliki makna yang berbeda. Nah, pertanyaannya adalah kenapa Allah memilih kata Qara'a ketimbang dua kata lainnya? Rahasia apakah dibalik kata qara'a ini? Kita bakal kaji bareng-bareng setiap kata tersebut. Insyaallah!

MAKNA TARTIL

Arti dasar tartil adalah sesuatu yang terpadu (ittisaq), dan tersistem (intizham) secara konsisten (istiqamah). Oleh karena itu, membaca dalam istilah tartil dapat kita pahami sebagai aktivitas membaca dengan sistem pelafalan yang diucapkan dengan benar secara konsisten. Hal inilah yang membuat kata ini terdapat di dalam Q.S. Al-Muzammil. Allah berfirman:

 (1) (2) (3) (4)

"Wahai orang-orang yang berselimut!; Bangunlah pada malam hari kecuali (sisakan) sedikit (dari waktu malam itu untuk kamu istirahat); Setengahnya, atau kurangi dari setengah itu sedikit; atau tambahkan sedikit atasnya, dan bacalah Al-Quran itu secara tartil"

(Q.S. Al-Muzammil: 1-4)

Allah SWT menggunakan kata ini ketika membicarakan shalat malam untuk memberikan kesan bahwa bacaan padu yang tersistem dengan baik secara konsisten akan begitu menghujam sanubari ketika dilakukan pada malam hari. Allah berfirman:

"Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu') dan bacaan di waktu itu lebih berkesan" 

(Q.S. Al-Muzammil: 6)

Dari sana dapat kita pahami bahwa membaca dalam istilah tartil memiliki makna bahwa aktivitas tersebut dilakukan dengan sistematik sehingga bacaan yang kita baca itu dapat memberikan kesan yang mendalam bagi kita sendiri.

MAKNA TILAWAH

Makna dasar dari kata ini adalah mengikuti (tabi'a), baik dengan cara qira'ah (intelektual) atau menjalankan apa yang digariskan di dalamnya (ittiba'). Maksudnya, membaca dalam istilah tilawah dapat dipahami sebagai akitivitas membaca yang mendorong para pembacanya mengikuti apa yang tertera di dalam bacaan yang ia baca. Itulah makna firman Allah SWT:

"Dan bacakanlah (wahai Muhammad) apapun yang telah Aku wahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu (Al-Quran)."

(Q.S. Al-Kahfi: 27)

Karena di dalam ayat ini Allah menggunakan kata watlu yang memiliki satu akar kata dengan kata tilawah, maka pengertian dari ayat ini adalah Allah itu memerintahkan Nabi Muhammad untuk membacakan Al-Quran dengan bacaan yang bisa membuat para pendengarnya mengikuti apa yang telah dibacakan kepada mereka, baik berupa bacaan Al-Qurannya (aspek fisikal) ataupun hukum yang tertera di dalamnya (aspek moral). Singkat kata, membaca dalam istilah tilawah adalah membaca yang tidak hanya memberikan kesan mendalam bagi diri sendiri, tetapi bacaan itu juga mampu menyihir orang disekitarnya untuk mengikuti apa yang ia bacakan dari bacaan yang ia baca. Focus focus trulala!

MAKNA QIRAAH

Nah, terakhir adalah membaca dalam istilah qira'ah. Kata ini memiliki makna menghimpun, mulai dari menghimpun huruf sehingga terciptanya kata, menghimpun kata sehingga tercipta kalimat, dan menghimpun kalimat sehingga tercipta pemahaman. Selain itu, kita bisa juga memaknai Qiraah itu secara umum, kata ini bisa digunakan untuk membaca kitab suci, koran, lingkungan sekitar, alam semesta, sms dari do'i (pake huruf 'ain), dll. DR. Quraish Shihab pernah menulis di dalam bukunya Tafsir Al-Quran Al-Karim:

...arti asal kata ini menunjukkan bahwa iqra' yang diterjemahkan dengan bacalah!, tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai obyek baca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karenanya, dalam kamus, Anda dapat menemukan beraneka ragam arti kata tersebut. Antara lain menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan sebagainya, yang kesemuanya bermuara pada arti "menghimpun". Selain itu, kata qira'ah, berikut bentuk-bentuk yang seakar dengannya, dalam al-Qur'an dipakai mengungkapkan aktifitas membaca yang umum, mencakup teks apa saja yang bisa dijangkau.01

Penghimpunan itu tidak berhenti pada penghimpunan huruf. Membaca dalam istilah qira'ah juga dapat dimaknai dengan menghimpun makna dari istilah-istilah lain. Inilah yang membuat kata qara'a ini memiliki turunan makna yang cukup banyak, empat diantaranya adalah:

-          Memahami secara mendalam (Tafaqqaha)

-          Memahami dengan pengetahuan umum (Tafahhama)

-          Membuat seseorang mengabdi dengan sungguh-sungguh (Tanassuk)

-          Konsisten dalam mempelajari (Tadarrasa), dll

Dari beberapa turunan makna diatas dapat dipahami bahwa aspek Qira'ah harus dipahami lebih luas dari membaca dalam istilah tilawah dan tartil, karena ia mencakup kedua hal itu dan hal lain yang belum disebutkan. Dalam Qira'ah, kita tidak hanya sebatas membaca dengan bacaan padu, ataupun bacaan yang dapat mendorong seseorang mengikuti bacaan yang ia baca. Membaca dalam istilah qira'ah merupakan aktivitas membaca paling tinggi, dimana aktivitas ini tidak berhenti pada lafazh lahiriyahnya saja, namun berlanjut pada upaya mendapatkan pengetahuan terdalam dari disiplin ilmu yang kita geluti pada waktu itu. Perlu diketahui bahwa tingkatan ilmu di dalam diri seseorang itu ada enam:

 Pertama: Al-'Ilmu yakni mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaan yang pasti dan dengan sebenar-benarnya pengetahuan.

 Kedua: Azh-Zhann yakni mengetahui sesuatu yang kemungkinan benarnya lebih besar daripada salahnya

 Ketiga: Asy-Syakk yakni mengetahui sesuatu yang kemungkinan benar atau salahnya sama.

 Keempat: Al-Wahm yakni mengetahui sesuatu dengan kemungkinan salah lebih besar daripada benarnya.

 Kelima: Al-Jahlul basith yakni tidak mengetahui sesuatu sama sekali.

 Keenam: Al-Jahlul murakkab yakni mengetahui sesuatu tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Disebut murakkab karena kebodohan ini seperti lapis tango (berapa lapis? Ratusan!), yaitu di dalam diri orang tersebut ada dua kebodohan sekaligus, yaitu bodoh karena ia tidak mengetahui ilmu yang sebenarnya dan bodoh karena beranggapan bahwa dirinya tahu padahal sebenarnya ia tidak tahu.02

Nah, membaca dalam istilah qira'ah ini berusaha meraih dan mereguk tingkatan pengetahuan paling tinggi, yaitu Al-Ilmu. Al-Ilmu yang dimaksud disini adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaan yang pasti, maksudnya pengetahuan itu mampu dipertanggungjawabkan keabsahannya, baik dengan mengujinya dengan ragam analisa ataupun memperbandingkannya dengan ilmu lain. Kemudian pengetahuan itu juga bermakna mengetahui sesuatu dengan sebenar-benarnya pengetahuan. Maksudnya, bukan hanya sekedar mengumpulkan ratusan teori atau ribuan konsep, tetapi juga bisa menerapkan semua hal itu disela-sela sendi kehidupan. Itulah hakikat pengetahuan di dalam islam.

Di dalam islam, tidaklah disebut orang yang berilmu jika pengetahuan yang dia punya tidak mengantarkannya kepada ketakutan kepada Allah. Allah berfirman:

"Hanyalah yang akan terus menerus takut kepada Allah dari golongan hamba-Nya adalah para ulama"

(Q.S. Fatir: 28)

Jika ayat ini kita tinjau lebih jauh, di permulaan ayat Allah SWT menyebutkan kata innama (). Di dalam bahasa arab, kata ini dinamakan dengan Adatul Lil Hashri atau kata yang memiliki makna meringkas. Setiap kalimat yang dimulai dengan lafazh ini memiliki makna yang begitu sempit, sehingga penerjemahannya bukan sekedar menegaskan tetapi juga menolak pernyataan yang lain, hanya ini dan tidak dengan itu!. 

Kemudian, kata bahasa arab yang digunakan untuk menterjemahkan "takut" adalah kata Yakhsya (). Di dalam bahasa arab ada dua istilah untuk menunjukan makna takut: (1) Menggunakan kata Khaafa (), (2) Menggunakan kata Khasyia (). Ketakutan yang menggunakan bentuk pertama memiliki makna bahwa ketakutan yang ia rasakan akan mendorong dirinya untuk menjauhi objek yang dia takuti. Dalam kasus ini, menghindari mantan yang bergentayangan di sosial media adalah contoh yang baik untuk menjelaskan makna ketakutan dalam bentuk pertama.

Nah, adapun dalam bentuk kedua, yaitu Khasyia, memiliki makna takut tidak mendapat keuntungan, sehingga dia mendekat kepada objek karena dia takut tidak mendapatkan keuntungan.03 Nah, oleh karena itu dapat kita pahami bahwa yang dimaksud ayat ini adalah ketakutan para ulama itu tidak mendorong mereka menjauhi Allah, tetapi berkat kadar keilmuan mereka yang begitu dalam dan luas membuat mereka mendekat dan berlomba-lomba mendekati-Nya karena takut kehilangan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.

Nah, tapi kita harus inget, pengertian ulama disini gak cuma sebatas para ahli agama yang menguasai ilmu fikih, ilmu alat, atau ilmu agama lainnya. Pengertian ulama disini sifatnya umum, maksudnya adalah pakar ilmu apapun itu, selama mengantarkan dirinya menuju ketakutan kepada Allah dengan seluruh ilmunya itu, maka mereka juga patut untuk kita sebut dengan ulama.

Di pondok pesantren kami, terdapat seorang guru fisika yang bernama Ust. Edi Fahrudin, beliau adalah salah satu sosok yang penulis kagumi, selain karena kepiawaiannya menjawab soal fisika tanpa harus mengurai rumus-rumus yang biasanya membuat sakit mata, penulis juga mengaguminya karena beliau mampu menjelaskan alasan filosofis dari ajaran agama menggunakan ilmu fisika yang dimilikinya. Setiap pelajarannya tiba, satu hal yang penulis tunggu-tunggu adalah ketika beliau mau menafsirkan Al-Quran menggunakan ilmu fisika. Ilmu yang dapat saya petik dari beliau adalah alasan filosofis mengapa jumlah rakaat shalat ada tujuh belas rakaat, kemudian makna setiap gerakan shalat yang ditinjau dari tinjauan besaran sudut dan lingkaran, pengaruh gerak melawan arah jarum jam dalam thawaf, mengetahui keesaan Tuhan dari partikel subatomik, dan masih banyak lagi. 

Hal yang menarik dari beliau adalah beliau bukan seorang lulusan pesantren yang memahami ilmu-ilmu agama secara mendalam, tetapi nyatanya beliau mampu meraih rasa takut yang begitu dalam kepada Allah dengan bekal ilmu fisika yang dimilikinya. Beliau sering menyampaikan bahwa terkadang beliau disebut sesat karena berani menerjemahkan Al-Quran tanpa menggunakan kaidah tafsir konvensional (umum) yang biasa digunakan para penafsir Al-Quran. Namun, beliau mengatakan bahwa beliau tidak memerdulikan mereka karena baginya yang terpenting adalah dirinya yang semakin dekat dengan Allah, tidak lebih dari itu. Beliau mampu melihat keindahan Al-Quran dan Islam melaui bekal ilmu yang dimilikinya, dan hal itu telah lebih dari cukup.

Penulis sependapat dengan beliau, karena keperti yang kita tahu bersama, Allah memberikan potensi yang berbeda kepada masing-masing hamba-Nya. Namun, perbedaan potensi itu sejatinya hanyalah ujian bagi kita, apakah kita mampu memantulkan kembali potensi itu untuk mendekat dan bersipuh dihadapan-Nya atau tidak? Mungkin mereka yang menganggap sesat orang yang mampu meraih derajat takwa dengan ilmu umum seperti biologi, fisika, atau yang lainnya tidak melihat islam dari sudut pandang yang alim itu gunakan. Tidak ada gunanya memperdebatkan makna "gedang" yang diucapkan oleh orang sunda jika kita memahami kata itu menggunakan bahasa jawa.

Selalu ada kekacauan jika kita tidak menyatukan frekuensi gelombang takwa terlebih dahulu. Mereka yang bertakwa karena ilmu tafsir tidak bisa disamakan dengan mereka yang bertakwa karena ilmu sosiologi, begitupun dengan yang lainnya. Jika kita ingin melihat keindahan senja seperti yang dilihat oleh rekan kita, maka janganlah bersembunyi dibalik pohon, majulah sedikit dan duduklah bersamanya, sehingga kita bisa menikmati keindahan senja yang memanjakan mata sebelum sang rembulan tiba.

"Al-Quran itu bagaikan intan berlian, dipandang dari sudut manapun akan tetap memancarkan cahaya". Itulah ungkapan Syekh Abdullah Darraz ketika menjelaskan Al-Quran. Dari ungkapan beliau ini maka seharusnya kita harus paham bahwa setiap orang menemukan Tuhannya dengan caranya masing-masing. Oleh karena itu haruslah kita menghargai perbedaan jalan yang ditempuhnya itu.

Tidak mudah untuk melalui jalan untuk mencapai derajat Al-Ilmu yang menjadi tujuan inti dari membaca dalam istilah qira'ah, sehingga sudah menjadi syarat mutlak bahwa proses membaca dalam aspek ini perlu memakan waktu yang panjang. Itulah sebabnya kenapa Allah menyisipkan huruf alif setelah huruf ba di dalam ayat pertama pada surat ini.

Pada umumnya kalimat basmalah ditulis tanpa menggunakan huruf alif setelah huruf ba ( ). Tetapi untuk beberapa tempat seperti pada Q.S. Al-Waqiah, Al-Qiyamah dan Al-Alaq, penulisan basmalah ini menyisipkan huruf alif setelah huruf ba ( ). Lantas apa makna alif tambahan ini? 

Seperti yang pernah dikatakan Ustadz Adi Hidayat dalam salah satu ceramahnya, makna alif setelah huruf ba ini adalah isyarat atau tanda untuk menunjukan waktu yang panjang bagi seorang muslim yang ingin melakukan aktivitas iqra. Hal ini tentu bersesuaian dengan makna iqra yang telah kita bahas sebelumnya. 

Karena proses yang panjang itulah, fokus utama membaca dalam istilah iqra bukanlah terletak pada lafazh lahiriyahnya saja, tetapi ia menghimpun makna batiniyahnya juga. Sehingga, membaca Al-Quran dalam istilah Qira'ah dapat menunjukan bahwa aktivitas itu tidak hanya sekedar melantunkan bacaan, tetapi disertai juga dengan upaya tafakkur, tadzakkur, dan juga tadabbur ayat yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, sadar, dan juga memiliki tujuan yang jelas. Itulah alasan mengapa Allah memilih kata ini ketimbang dua kata lainnya (Tilawah atau Tartil). Membaca dalam makna qira'ah berarti menghimpun seluruh tenaga dan upaya untuk mendapatkan derajat Al-Ilmu, sehingga bisa mengantarkan kita menuju puncak ketakwaan yaitu merasakan ketakutan terdalam kepada Allah SWT. 


Catatan:

[01] Dr. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur'an al-Karim hh. 77-78

[02] http://adabuna.blogspot.com/2012/04/membaca-qiraah-tartil-dan-tilawah.html, diunggah pada 1 Maret 2020 M pukul 10.17

[03] 'Amr bin 'Abdul Mun'im Salim, Thariq, hh.18-9

[04] Prof. DR. H. Salman Harun, Tafsir Tarbawi: Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Al-Quran, h. 43

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun