Mohon tunggu...
Farrah Maulida Salsabila
Farrah Maulida Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Penyuka bintang dan pencandu puisi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesejahteraan Guru di Era Milenial

5 Oktober 2021   17:40 Diperbarui: 5 Oktober 2021   17:51 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

─Ditulis oleh Farrah Maulida Salsabila, mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2018.

27 tahun yang lalu─tepatnya pada tanggal 5 Oktober 1994─UNESCO, ILO (International Labour Organization; Organisasi Perburuhan Internasional), UNICEF, dan EI (Education International) mencetuskan adanya sebuah hari besar untuk memperingati jasa para guru yang diselenggarakan di seluruh dunia, yaitu Hari Guru Sedunia. Tanggal tersebut merupakan peristiwa bersejarah yang membuka gerbang baru di dunia pendidikan─yaitu ditetapkannya rekomendasi ILO dan UNESCO mengenai status guru. Adanya peringatan Hari Guru Sedunia memunculkan banyak apresiasi publik terhadap profesi guru yang seringkali peranannya hanya dianggap sebagai angin lewat.

Sayangnya, realitas yang ada pada kalangan tenaga pendidik Indonesia merupakan antitesis dari segala bentuk apresiasi jasa yang digembor-gemborkan melalui perayaan berskala internasional. Isu lama yang tidak pernah padam, masih terdapat banyak guru yang tidak diapresiasi dengan layak, termasuk kalangan guru honorer yang memperoleh gaji di bawah UMR. Agustus 2021 lalu, kisah seorang tenaga pendidik dengan akun TikTok @hermyyusita membagikan video slip gajinya sebagai guru honorer menjadi viral. Ironisnya, jumlah nominal gaji yang tertera berhasil membuat warganet tidak habis pikir─yaitu sejumlah Rp315.000 untuk satu bulan. Tentu hal ini mencuri perhatian khalayak luas yang mempertanyakan hal tersebut─mengingat pekerjaan guru honorer yang tidak kalah rumitnya dari guru-guru yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil.

Disadur dari lirik lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa karya Sartono, guru adalah patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa. Rasanya bila melihat fakta yang ada, lagu wajib nasional tersebut bukan hanya sekadar memuat lirik lagu─namun kata-kata itu adalah sebuah bentuk sarkasme terhadap kemanusiaan. Momentum Hari Guru Sedunia seharusnya mampu memotret kisah guru di negeri ini dengan lebih dekat─melihat bagaimana totalitas seorang guru dalam mengabdi di dunia pendidikan.

Sejatinya guru harus selalu tahan banting menghadapi banyak hal─termasuk kenyataan kurang sejahteranya profesi mereka di Indonesia. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjelaskan bahwa penghasilan di atas UMR dan jaminan akan kesejahteraan sosial adalah hak yang dapat diterima oleh guru. 

Di Jepang, guru merupakan pekerjaan terhormat dan stabil─sedangkan di Indonesia, guru adalah manifestasi dari profesi yang eksistensinya penting, namun jasanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mudahnya terlupakan. Meskipun guru dianggap sebagai profesi terhormat di Indonesia menurut data survei Varkey Foundation dengan jumlah persentase sebesar 62,1%, namun status ini tidak disertai dengan pemberian tunjangan profesi yang layak.

Tentu layaknya pisau bermata dua, isu ini pun turut diwarnai oleh kenyataan bahwa kompetensi guru di Indonesia masih sangat kurang. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyuarakan hal yang sama, yaitu adanya perubahan dalam diri guru unruk memiliki kompetensi  kepribadian, profesional, dan sosial yang baik. 

Perlu diperhatikan efektivitas dari pelaksanaan UKG (Uji Kompetensi Guru) yang berfungsi untuk mengukur kompetensi guru dalam bidang studi dasar serta pedagogik yang ada dalam ruang  lingkupnya. Timbul anggapan bahwa gaji yang diberikan selaras dengan kualitas kinerja yang ditawarkan, sehingga isu ini menjadi sebuah dilema karena kenyataan umumnya menyebutkan fakta bahwa kompetensi guru secara umum masih di bawah rata-rata.

Masalah yang  melanda dunia pendidikan bertambah kelam ketika kehadiran Covid-19 menghambat pembelajaran luring. Angka kasus harian Indonesia yang cukup tinggi menjadikan berlakunya sistem pembelajaran daring. 

Guru-guru semakin gencar menginisiasi berjalannya pembelajaran daring dari rumah─meskipun hambatan akan selalu ada, baik dari siswa maupun guru selaku partisipan pertemuan tatap maya. Buruknya sinyal, tidak ada bantuan kuota internet dari pemerintah, dan lain-lain menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi. Keharusan untuk memahami sistem daring pun menjadi masalah, karena guru dan siswa dituntut untuk bisa beradaptasi dengan sistem daring  dalam pembelajaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun