Semakin hari pembangunan infrastruktur kian masif. Pembangunan infrastruktur pun nyatanya menjadi fokus pemerintahan saat ini. Dengan menggenjot pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, dan lain-lain, diharapkan akan memperkecil kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Anggaran yang disiapkan oleh pemerintah pun tidak main-main. Pada APBN tahun 2017, Rp. 378 Triliun dialokasikan pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur bahkan  di RAPBN tahun 2018 pemerintah menambah anggaran untuk proyek infrastruktur menjadi Rp. 409 Triliun.Â
Pun saat ini Indonesia juga berada dalam posisi ke-4 sebagai negara pangsa konstruksi nasional terbesar di Asia. Terhitung dalam kurun waktu 2014-2019 diprediksi nilai pasar konstruksi nasional mencapai Rp.5.000 Triliun. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila perusahaan berbasis konstruksi berkembang di Indonesia, baik perusahaan perseorangan maupun perusahaan-perusahaan skala besar yang sudah menangani berbagai macam pembangunan konstruksi dan bekerjasama dengan pemerintah.
Hal ini juga memberikan sinyal positif, tidak hanya bagi perusahaan konstruksi, namun juga perusahaan penyedia alat berat  seperti CAT, Hitachi, Komatsu, dan Sany yang memang merupakan pemain 'berat' di industri alat berat. Dengan tren positif ini, mereka optimis untuk semakin gencar melakukan ekspansi bisnis di Indonesia dan juga sebagai 'penyokong'  kebutuhan alat berat di perusahaan konstruksi dalam proses pembangunan infrastruktur. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi adalah pasokan alat berat dari perusahaan penyedia alat berat ini tidak dapat mengimbangi kebutuhan alat berat skala nasional.
Bisnis penyewaan alat berat ini dirasakan prospektif mengingat masih terbuka peluang sangat lebar untuk mengisi kekosongan demandalat berat. Terlebih lagi, alat berat memiliki biaya maintenance yang sangat besar, sehingga perusahaan konstruksi skala menengah atau bahkan besar sekalipun lebih tertarik untuk 'menyewa' dibandingkan memiliki unit alat beratnya sendiri.Â
Jika menggunakan pendekatan studi kelayakan bisnis, bisnis ini bisa dikatakan cukup feasible. Di sini, penulis menggunakan contoh hasil penghitungan apabila pada awal pembentukan usaha, jumlah alat berat yang dimiliki sebanyak 20 unit dengan variasi alat berat meliputi excavator, wheel loader, bulldozer,dan dumptruck. Jumlah tersebut akan menghasilkan total invetasi awal sebesar Rp. 47.888.440.000 dengan umur proyek 8 (delapan) tahun.
Dari hasil investasi awal ini, nilai NPV yang akan diperoleh mencapai Rp. 19.709.419.116. Rencana bisnis ini akan memperoleh angka initial rate return (IRR) sebesar 19,86% apabila discount factor sebesar 10%. Dengan angka ini, masa payback period yang diprediksikan adalah 4 tahun.
Melihat hasil perhitungan tersebut mengindikasikan bahwa rencana bisnis penyewaan alat berat memiliki prospek yang cukup baik dan feasible untuk dijalankan. Tentunya dengan pertimbangan bahwa kondisi perekonomian global sedang stabil.
Daftar Pustaka:
Sumber Grafik: Togar. M Sipatupang dalam pemaparannya pada acara di Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur dengan tema "Peningkatan Kapasitas Sistem Rantai Pasok Material dan Peralatan Konstruksi untuk Mendukung Investasi Infrastruktur Pekerjaan Umum di Provinsi Kalimantan Timur."