Mohon tunggu...
Farichal Muafy
Farichal Muafy Mohon Tunggu... Pengajar Filsafat Islam

Hobi membaca, tertarik pada kajian-kajian psikologi, sosiologi dan filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Agama kapitayan jawa dwipa

27 Februari 2025   19:39 Diperbarui: 27 Februari 2025   20:12 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
RELIGION OF THE JAVA DWIPA CAPITAYAN

AGAMA KAPITAYAN JAWA DWIPA

Seorang antropolog dan peneliti asal Prancis, Paul Mus (1896--1969) dalam bukunya L'inde vue de l'Est: Cultes Indiens et indignes au Champa [India Dilihat dari Timur: Kultus-kultus India dan yang Asli di Champa] mengemukakan pandangannya mengenai kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat di berbagai wilayah Asia Tenggara, termasuk Jawa, India, Indo Cina, hingga Pasifik. Paul Mus menyatakan bahwa kepercayaan mereka tidak dapat dikategorikan sebagai animisme atau dinamisme, seperti yang umum diangkat dalam kajian tradisional, melainkan bagian dari kepercayaan kuno yang disebut Kapitayan. Dalam pandangan Mus, Kapitayan adalah suatu bentuk agama atau kepercayaan yang lebih kompleks dan terstruktur daripada animisme atau dinamisme yang lebih kepada pemujaan roh dan kekuatan alam. Agama Kapitayan berfokus pada pemujaan terhadap kekuatan spiritual tertentu. Pandangan Mus menggambarkan betapa kebudayaan di Asia Tenggara memiliki akar yang lebih dalam terhadap kepercayaan kuno yang lebih terorganisir daripada yang sebelumnya diperkirakan. Informasi mengenai penyebaran Kapitayan di luar Pulau Jawa sangat terbatas. Beberapa klaim masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan kebenarannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Kapitayan berkembang di Pulau Jawa, dan belum ada bukti yang kuat mengenai penyebaran-nya di luar Jawa Dwipa.

Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Wali Songo (2017) menjelaskan bahwa Kapitayan adalah agama kuno yang pernah dianut oleh leluhur para penghuni pulau Jawa. Spiritualitas Kapitayan terpusat pada penyembahan Sang Hyang Taya: sesuatu yang tak dapat diumpamakan, dan tak dapat dijangkau oleh akal-pikiran. Konsep ini menunjukkan keyakinan terhadap satu entitas ilahiah yang tidak berwujud, tetapi diyakini sebagai Kebenaran Sejati yang mengatur seluruh alam semesta. Dengan demikian, Kapitayan memiliki sifat monoteistik karena menekankan keberadaan satu kekuatan ilahiah yang tak kasatmata dan tak terpersonifikasi. Meski begitu, dalam praktik spiritual-nya, agama Kapitayan menggunakan berbagai media seperti batu, pohon, dan tempat-tempat alami lainnya. Media tersebut sejati-nya bukanlah objek penyembahan, melainkan simbol-simbol yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu para penganutnya memusatkan perhatian, pikiran, dan perasaan mereka kepada Sang Hyang Taya yang Esa. Dengan pendekatan ini, kita dapat memahami bahwa Kapitayan dalam praktik spiritual, sengaja menggunakan simbol-simbol fisik agar mampu menjadi jembatan penghubung antara alam spirit manusia dengan sesuatu yang transendental. Monoteisme Kapitayan tidak seperti monoteisme dalam agama Yahudi dan Islam yang bersifat absolut (tauhid), melainkan lebih mirip dengan monoteisme trinitarian dalam agama Nasrani.

Dengan membaca sejarah Agama Kapitayan, kita tidak hanya mengenal sejarah para leluhur, tetapi juga dapat memetik pelajaran yang relevan untuk kehidupan masa kini, khususnya dalam konteks spiritualitas. Agama Kapitayan mengajarkan tentang Sang Hyang Taya, sebuah konsep adanya kekuatan adikodrati transendental yang tak terlihat, namun diyakini hadir dalam setiap aspek kehidupan. Kapitayan mengajak kepada manusia modern untuk menyadari bahwa ada realitas yang melampaui batas-batas logika dan indra manusia. Secara kajian falsafi, ada semacam kebenaran koherensi, yaitu kebenaran yang dinilai berdasarkan konsistensi dari masa ke masa. Keyakinan tentang Kebenaran Sejati yang diwariskan secara turun temurun, dari generasi ke generasi menunjukkan bahwa aspek spiritualitas telah diterima dan diteruskan secara koheren oleh para leluhur kepada generasi selanjutnya. Hal ini juga membuktikan bahwa manusia memiliki kemampuan intuitif untuk menangkap sinyal-sinyal kesejatian dari dimensi lain, yakni sesuatu yang sulit dipahami oleh akal kaum rasionalis, skeptis atau ateis. Spiritualitas Kapitayan bukan sekadar warisan budaya Jawa Dwipa, tetapi ia dapat menjadi sumber inspirasi untuk memperkuat dorongan spiritualitas manusia modern, yang semakin mengarah kepada pola pikir Ryle yang mekanistik.

Dalam praktik spiritualitas Kapitayan, media seperti batu, pohon, atau tempat alami lainnya digunakan bukan sebagai objek pemujaan, melainkan sebagai simbol yang mengarahkan pikiran dan perasaan kepada Sang Hyang Taya, Tuhan yang tak berwujud dan tak terjangkau oleh pancaindra. Perilaku ini tidak dimaksudkan untuk menyembah sesama makhluk, melainkan untuk menyatakan pengakuan atas keberadaan dan keagungan sang Pencipta melalui ciptaan-Nya. Media ini hanyalah sarana simbolik yang membantu mereka merenungkan makna keberadaan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan di alam semesta. Dalam tradisi-nya, masyarakat Kapitayan menggelar ritual sesaji di tempat-tempat sakral, seperti makanan dan bunga, dengan niat syukur kepada Sang Hyang Taya atas segala karunia yang telah diberikan. Ritual ini disertai meditasi dan kontemplasi, di mana penganutnya berupaya menyelaraskan batin mereka dengan alam, memahami bahwa alam dan manusia adalah satu kesatuan yang utuh dari ciptaan-Nya. Selain itu, penghormatan terhadap arwah para leluhur menjadi bagian penting dalam ajaran Kapitayan, karena mereka berpikir bahwa apa yang dinikmati hari ini adalah buah jerih payah para leluhur di masa lalu. Meskipun, jika dilihat menggunakan kaca mata monoteisme absolut, apa yang dilakukan oleh para penganut Kapitayan dalam tradisi mediasi benda-benda kepada Tuhan-nya ini tidak dibenarkan.

Agama Kapitayan, sebagai salah satu jejak kepercayaan tradisional yang tumbuh di pulau Jawa, menyimpan nilai historis yang cukup tinggi, namun masih layak menerima kitrikan secara ilmiah dan teologis. Tradisi ini menggambarkan sebuah perjalanan spiritual yang mengakar pada kearifan lokal, yang terjerat oleh berbagai tantangan metodologis dan mempersulit upaya rekonstruksi secara akademik. Dokumentasi Kapitayan sebagian besar bergantung pada tradisi lisan, penafsiran teks sejarah, dan sumber-sumber sekunder, yang rentan terhadap bi-as dan kesenjangan informasi. Akibatnya, praktik dan ajaran Kapitayan mudah muncul dalam bentuk yang terfragmentasi, di mana batas antara keaslian dan pengaruh dari agama-agama lain seperti Hindu, Buddha, atau Islam menjadi kabur. Dalam lintasan sejarah, Kapitayan telah terasimilasi dengan agama-agama besar yang lebih mapan dan sistematis, sehingga wujud asli kepercayaan ini berangsur-angsur memudar, terkubur di balik lapisan tradisi sinkretik. Tidak seperti agama-agama besar yang memiliki doktrin teologis yang terstruktur dan baku, Kapitayan bergerak dalam ranah yang lebih mengalir di lokasi dan kontekstual. Hal ini membuatnya sulit dianalisis dalam kerangka universal gama atau filsafat global. Tradisinya yang berbasis pada mitos dan simbol alam bisa menghadirkan tantangan bagi para peneliti dalam membedakan antara fakta historis dan legenda. Minimnya bukti arkeologis yang dapat dijadikan acuan lebih jauh memperkeruh usaha akademik untuk memahami Kapitayan secara mendalam. Batu, pohon, atau tempat-tempat sakral yang menjadi simbol kehadiran Sang Hyang Taya hanyalah jejak samar dari kepercayaan yang hidup dalam harmoni dengan alam, tetapi gagal memberikan pijakan material yang cukup untuk kajian empiris (*) 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun