Mohon tunggu...
Farhan Muhammad
Farhan Muhammad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Tugas

Halo

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sengketa Laut Cina Selatan

29 Oktober 2021   02:13 Diperbarui: 29 Oktober 2021   02:20 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Laut Cina Selatan merupakan wilayah seluas 3 Juta meter persegi yang bersebelahan langsung dengan wilayah Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Menurut Anthony Reid dalam bukunya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid I: Tanah di Bawah Angin (2014), sengketa ini bermula sejak lima abad yang lalu. Dan juga diperkeruh dengan klaim China pada tahun 1947 dengan menetapkan dan menyatakan bahwa Laut Cina Selatan ini adalah milik China.

Seperti yang terlihat setelah beberapa waktu yang lama hal ini memanas kembali karena adanya pengajuan sengketa oleh Filipina ke Pengadilan Internasional Arbitrase dan pada Juli 2016 lalu Pengadilan Internasional Arbitrase di Den Haag memutuskan 1. Klaim Cina atas hak historis atau hak berdaulat lainnya terhadap wilayah laut di Laut Cina Selatan meliputi juga “Nine-dash line‟ adalah sangar bertentangan dengan Konvensi dan dinyatakan tidak sah. Klaim historis ini dianggap telah melebihi batasan yang ditentukan oleh Konvensi. 2. Pada Mischief Reef and Second Thomas Shoal tidak mampu diperuntukan sebagai Laut Teritorial, Zona Ekonomi Ekslusif, ataupun Landas kontinen Cina. Lalu untuk Subi Reef, Gaven Reef (South), and Hughes Reef tidak juga dapat dikategorikan sebagai Laut Teritorial, ZEE, ataupun landas kontinen namun dapat digunakan sebagai baseline untuk mengukur lebar dari laut terotorial. Sedangkan Scarborough Shoal, Gaven Reef (North), McKennan Reef, Johnson Reef, Cuarteron Reef, and Fiery Cross Reef dalam kondisi alami dinyatakan sebagai batu-batuan yang tidak dapat digunakan untuk kehidupan manusia juga bukan merupakan ZEE maupun landas kontinen 3.Status Mischies Reef dan Second Thomas Shoal adalah Zona Ekonomi Ekslusif Filipina 4.Cina dianggap telah melanggar kedaulatan Filipina dan pasal – pasal pada Konvensi dengan melakukan operasi militer, penyerangan terhadap nelayan, melakukan illegal fishing China juga dinilai telah melakukan perusakan laut dengan melakukan reklamasi pada beberapa titik di Laut Cina Selatan. Pasca diputuskannya hal tersebut oleh Pengadilan Internasional Arbitrase kedua negara pun memiliki sikap yang berbeda. China sendiri tidak mengakui keputusan dari Pengadilan Internasional Arbitrase karena dianggap Pengadilan Internasional Arbitrase tidak memiliki yurisdiksi untuk memutuskan kasus tersebut kemudian China juga tetap melakukan aktifitas militer di Laut Cina Selatan bahkan mengirimkan armada militer yang lebih banyak lagi.

Walaupun sempat memanas, hubungan kedua negara ini kemudian terlihat seperti membaik setelah adanya upaya diplomasi melalui kunjungan Presiden Duterte ke Beijing pada Oktober 2016 lalu. Dari pertemuan keduanya pemimpin negara tersebut disepakati bahwa keduanya menekankan pada mekanisme dialog dan kerja sama dalam mengatasi sengketa Laut Cina Selatan. Ada beberapa poin yang disepkati yaitu: China yang mempertegas kedaulatan dan yurisdiksinya di perairan Pulau Huangyan atau Scarborough Shoul di wilayah Laut Cina Selatan, Mengijinkan nelayan Filipina untuk melaut di wilayah tersebut dengan Kementrian Agrikultur China yang mengirimkan tim asistensi untuk membantu meningkatkan kemampuan nelayan Filipina, China membuka pasarnya untuk produk-produk perikanan Filipina.

Melihat sengketa Laut Cina Selatan yang mulai memanas pada Juli 2016 karena adanya pengajuan sengketa oleh Filipina ke Pengadilan Internasional Arbitrase ini akan menjadi lebih baik jika kita melihat terlebih dahulu terkait dasar hukum yang digunakan dalam hal ini tentu saja adalah United Nations Convention on The Law of the Sea (UNCLOS 1982). Jika kita melihat kedua negara merupakan negara yang menandatangi UNCLOS 1982 kesimpulannya berarti apa yang dilakukan Filipina dengan mengajukan sengketa ini ke Pengadilan Internasional Arbitrase adalah langkah yang benar. Karena pada bagian XV UNCLOS 1982 sendiri dijelaskan bahwa “Bagi negara – negara yang belum dapat menyelesaikan perbatasan wilayah yurisdiksi nasionalnya, sementara negara –negara tersebut sudah menandatangani, meratifikasi atau menyatakan turut serta dalam Konvensi, maka dalam pasal 287 dikatakan bahwa negara – negara tersebut bebas memilih prosedur penyelesaian pertikaian mereka yaitu melalui Mahkamah Internasional Hukum Laut, Mahkamah Internasional, Mahkamah Arbitrase atau Arbitrase Khusus”. Kemudian seperti yang kita ketahui bersama bahwa sengketa ini juga telah mereda melalui jalur diplomasi dan menemukan keduanya sepakat dengan adanya kerja sama di daerah sengketa merupakan hal baik sebagai sesama negara anggota PBB dan sesuai Pasal 2 Ayat 4 UN Charter yaitu: “All members shall refrain in their international relations from the threat of use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations”. Demikian opini saya mengenai sengketa Laut Cina Selatan. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun