Teknologi Artificial Intelligence (AI) saat ini sedang menjadi perbincangan hangat di kalangan pendidikan. Kemunculan AI diharapkan dapat memberikan solusi untuk permasalahan yang dihadapi dalam proses pembelajaran. Namun, sisi lain dari teknologi ini juga tidak dapat diabaikan, beragam kontroversi yang menyertainya mulai dari masalah potensi penyalahgunaan, hingga etika dalam penerapan teknologi ini. Dalam artikel ini, kami akan mengulas tentang potensi pro dan kontra yang dapat diperoleh dari implementasi AI dalam pembelajaran serta aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam proses implementasinya.
Mungkin beberapa diantara pembaca yang budiman tidak asing dengan film "her", sci-fi romantis yang dirilis pada tahun 2013 yang disutradarai oleh Spike Jonze. Film ini menceritakan kisah seorang laki-laki bernama Theodore yang merasa kesepian dan mengalami masalah dalam hubungannya, ia kemudian membeli sebuah sistem operasi canggih bernama OS1 yang diwakili oleh suara seorang wanita yang disebut Samantha. Skenario ini mungkin terdengar asing bagi pembaca yang menonton film ini di tahun 2013, bagaimana mungkin seorang manusia bisa "tertipu" dan jatuh cinta pada sebuah perangkat komputer?Â
Maklum, mengingat perangkat lunak berbasis AI tecanggih pada tahun 2013, yaitu google transate, masih acak-acakan dalam menyusun sebuah paragraf singkat. Sehingga dari sudut pandang pragmatis, mana mungkin sebuah perangkat lunak mampu membaca emosi, memahami alur pembicaraan hingga menyusun dan merangkai kata dalam sebuah kalimat sama persis seperti seorang manusia.
Namun, belum genap 10 tahun setelah film ini dirilis, sebuah perusahaan dibawah microsoft bernama OpenAI merilis versi terbaru dari sebuah language model berbasisArtificial Intelligence bernama ChatGPT.  Secara singkat, pengembangan ChatGPT dimulai dengan mendorong perkembangan dari teknologi deep learning untuk menangani masalah pemrosesan bahasa alami, khususnya dalam melakukan tugas yang melibatkan pemahaman konteks dari bahasa.Â
ChatGPT dikembangkan dengan menggunakan teknik pre-training yang dilakukan dengan menggunakan berbagai data bahasa alami dalam jumlah besar, sehingga model dapat mempelajari konteks dari bahasa dan melakukan tugas yang berhubungan dengan pemahaman konteks dengan lebih baik. Model ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2019 dan sejak saat itu telah digunakan dalam berbagai aplikasi seperti asisten virtual, chatbot, dll.
jika fakta diatas masih kurang meyakinkan bagi anda para pembaca,mungkin fakta ini bisa memberikan gambaran betapa radikalnya perubahan yang akan dibawa oleh perangkat lunak ini jika ia benar-benar dirilis (bukan lagi versi beta).Â
Keika versi beta sistem ini dirilis memang harus diakui tidak banyak yang mengetahui perangkat lunak ini, namun 5 hari setelah dirilis ChatGPT berhasil mendapatkan 3-4 juta user, sebagai perbandingan, raksasa social media seperti instagram dan youtube membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga beberapa tahun untuk bisa mendapatkan jumlah user yang sama. Dan dengan banyaknya pengguna, tentunya akan semakin mempercepat penyebaran informasi mengenai perangkat lunak ini.
Lalu apa hubungannya dengan dunia pendidikan secara umum? mungkin beberapa dari pembaca yang merupakan pengajar atau pelajar pasti tidak asing dengan googling, sebuah upaya untuk mendapatkan jawaban dengan menggunakan google.Â
Beberapa pengajar menganggap cara ini "curang" karena jawaban yang didapat peserta didik merupakan jawaban yang didapat secara instan, bukan hasil usaha dan pemikirannya. Namun meskipun demikian masih terdapat usaha dari peserta didik, meskipun sedikit, yaitu untuk mengolah jawaban agar tetap berkorelasi dengan pertanyaan. Sehingga dalam hal ini pendidik bisa mempersulit pencarian jawaban jika pengajar menerapkan sistem soal HOTS dengan stimulus literasi-numerasi, membuat jawaban yang didapatkan peserta didik dari proses googling hampir tidak mungkin berkorelasi dengan pertanyaan yang diajukan oleh pendidik.
Namun, tidak begini ceritanya jika peserta didik mengetahui cara menggunakan AI dalam menjawab pertanyaan. hal paling mendasar dari sistem ini yang membuatnya sangat sulit dideteksi adalah mimic human typing dalam konteks tata bahasa dan tata tulisan. hampir mustahil bagi seorang pendidik untuk bisa membedakan mana jawaban yang dibuat oleh peserta didiknya dengan jawaban yang didapatkan dari respon AI, contohnya dalam artikel ini dimana saya yakin anda sebagai pembaca tidak mampu membedakan bagian mana yang saya tulis sendiri dengan bagian yang ditulis oleh AI.Â
Kedua, dikarenakan AI adalah sebuah software berbasis algoritma yang terhubung langsung ke internet, hal ini membuatnya memiliki pengetahuan hampir tak terbatas. Jika dua hal diatas terdengar sulit untuk dipahami, coba bayangkan anda berbicara dengan seorang asisten yang tahu segalanya, bisa memberikan respon secara instan, memiliki database ilmiah tak terbatas dan menguasai berbagai bidang mulai dari teknik fisika kuantum hingga filsafat.Â