Mohon tunggu...
Fania Safitri
Fania Safitri Mohon Tunggu... Mahasiswa

Halo, Nama saya Fania Safitri Mahasiswa Universitas Jambi Program Studi Ilmu Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika Kuota Haji Menjadi Ladang Korupsi: Dari Ibadah Suci ke Bisnis Kotor

3 Oktober 2025   14:35 Diperbarui: 3 Oktober 2025   14:47 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus dugaan korupsi kuota haji yang tengah diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menimbulkan kegelisahan yang dalam di tengah masyarakat. Bagaimana tidak, haji adalah ibadah sakral yang menjadi cita-cita setiap Muslim dan merupakan rukun Islam yang kelima dan pelaksanaannya sangat diatur secara khusus oleh negara. Kuota haji diberikan oleh pemerintah Arab Saudi berdasarkan proporsi jumlah penduduk Muslim di masing-masing negara. Di Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, selalu menerima kuota haji tertinggi. Rasa keadilan publik benar-benar terganggu dengan laporan bahwa terjadi manipulasi pembagian kuota yang mengakibatkan kerugian negara lebih dari Rp1 triliun.

Permasalahan berawal dari pembagian tambahan kuota haji sebanyak 20.000 jemaah yang diberikan Arab Saudi pada tahun 2024. Sesuai Undang-Undang Pasal 64 No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, seharusnya pembagian mengikuti proporsi 92% untuk haji reguler dan 8% untuk haji khusus. Namun, kenyataannya pembagian itu justru dilakukan 50:50 , 20.000 kuota tambahan itu seharusnya dibagi menjadi 18.400 untuk jemaah reguler dan 1.600 untuk jemaah khusus. Namun, aturan tersebut tidak dijalankan oleh Kementerian Agama pada masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.Akibatnya, sebanyak 8.400 calon jemaah haji reguler yang sudah menunggu antrean selama 14 tahun gagal berangkat ke Tanah Suci. Fakta tersebut yang kini tengah disidik oleh KPK sebagai bagian dari dugaan korupsi kuota haji 2023–2024.Inilah yang menimbulkan kecurigaan adanya permainan dan penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan kuota.

Ilustrasi. - Sumber : Samudrafakta.com
Ilustrasi. - Sumber : Samudrafakta.com

Sebagai bagian dari umat Muslim, saya merasa terluka mendengar kabar dugaan korupsi kuota haji ini. Rasanya tidak adil ketika mereka yang menabung bertahun-tahun harus terpinggirkan oleh kepentingan segelintir elit. Bagi masyarakat umum,mungkin menganggap masalah ini sebagai masalah teknis pembagian kuota. Namun jika dikaji lebih jauh, tindakan seperti ini merupakan contoh nyata dari pengkhianatan terhadap amanah publik. Jamaah reguler, yang sebagian besar berasal dari kalangan menengah ke bawah, harus menunggu belasan hingga puluhan tahun sebelum berangkat. Mereka berharap dapat melakukan haji dengan biaya yang lebih murah dengan menabung seumur hidup. Sementara itu, kuota khusus yang terlalu banyak dialihkan justru dinikmati oleh orang kaya melalui biro travel yang lebih mahal. Isu ini sangat sensitif dan melukai hati umat karena ketidakadilan ini.

Dari perspektif hukum, perubahan komposisi kuota tanpa dasar sah jelas melanggar undang-undang. Hal ini bukan hanya menyebabkan kerugian finansial negara, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara yang seharusnya menjaga kepentingan rakyat. Kasus ini menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia tidak terbatas pada proyek infrastruktur atau pengadaan barang, melainkan juga menyusup dalam tata kelola ibadah. Jika urusan sakral seperti haji pun bisa diperdagangkan, maka korupsi telah berakar dalam birokrasi.Dalam situasi ini, ketegasan aparat penegak hukum, terutama KPK, harus ditunjukkan untuk tidak hanya menghentikan penyidikan tetapi juga segera menetapkan pihak yang bertanggung jawab.

Pemerintah harus membangun sistem pengelolaan haji yang benar-benar transparan untuk mencegah kasus serupa terulang kembali. Data kuota haji baik reguler maupun khusus seharusnya dipublikasikan secara terbuka di situs resmi Kementerian Agama.Mengembalikan kepercayaan masyarakat dimulai dengan transparansi data. Dengan cara ini, masyarakat dapat ikut mengawasi, dan tidak ada ruang abu-abu yang bisa dimainkan oleh oknumSelain itu, audit independen berkala harus dilakukan oleh BPK dan bahkan harus melibatkan lembaga masyarakat sipil. Audit ini mencakup keuangan dan tata kelola distribusi kuota. Penyelidikan rutin dapat mencegah izin sejak awal. Untuk memastikan bahwa ketentuan 92% kuota reguler dan 8% kuota khusus tidak dapat diubah secara sepihak oleh menteri, pemerintah dan DPR juga dapat mempertimbangkan untuk memperkuat regulasi. Apalagi dengan sanksi tegas bagi mereka yang melanggar, aturan harus dipertegas. Karena pengelolaan ibadah haji adalah tanggung jawab besar yang berkaitan dengan kelangsungan hidup jutaan orang, bukan sekedar masalah administrasif.

Pada akhirnya, haji adalah ibadah yang mengajarkan umatnya untuk menjadi orang yang sederhana, ikhlas , dan setara di hadapan Allah. Korupsi kuota haji adalah bentuk ironi yang menghilangkan maknanya. Kasus ini harus menjadi peringatan keras bagi pemerintah, lembaga penegak hukum, dan seluruh pemangku kepentingan. Jangan biarkan ibadah suci ladang menjadi bisnis yang tidak bersih. Karena ketika korupsi memasuki urusan agama, bukan hanya rakyat yang dikhianati tetapi juga Tuhan.kasus ini menjadi momentum penting bagi negara untuk mengembalikan tekanan bahwa korupsi adalah musuh bersama. Peluang untuk membersihkan tata kelola haji masih ada jika masyarakat terus bersuara, media terus mengawasi, dan penegak hukum bertindak tanpa pilih kasih. Hanya dengan komitmen politik dan moral yang kuat , kita dapat menjamin bahwa amanah rakyat tidak lagi menjanjikan kepentingan saat ini. Ini adalah kesempatan bagi negara untuk menunjukkan bahwa keadilan dan kejujuran lebih penting daripada keuntungan duniawi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun