Penjajahan saat ini berasal dari beragam kebudayaan berbagai belahan dunia yang bersifat negatif, jika bangsa kita tidak mampu menyikapinya secara cerdas spiritual, intelektual, dan emosi, maka terwujudlah penjajahan itu, secara lahir terlihat merdeka, namun batinnya terjajah
Menyikapi kebangkitan di era 4.0 ini pastilah berbeda dengan era kebangkitan saat Budi Utomo dan Sumpah Pemuda, namun semangatnya tetaplah sama, bahkan harus lebih luar biasa lagi.
Jika di era Budi Utomo dan Sumpah Pemuda, generasi saat itu melawan penjajahan Belanda yang mengakar di bumi Indonesia, maka untuk saat ini sebetulnya tidak beda jauh, melawan penjajahan juga, namun secara kasat mata, dengan musuh lebih banyak serta beragam, segala macam kejahatan dari seluruh belahan dunia, karena itu perlawanannya harus melalui cara lebih modern plus canggih, melakukan perang tapi sudah bukan perang fisik lagi, namun perang kasat mata melalui kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosi.
Anggapan peradaban barat sebagai simbol keberadaban
Sudah bukan rahasia lagi bila dunia barat selalu dianggap sebagai kiblat kehidupan modern, maklumlah mereka selama puluhan abad menjajah dan menguasai dunia, akibatnya apapun yang mereka bawa dan tularkan seakan sebuah simbol bahwa kehidupan beradab.
Memang ada sebagian contoh peradaban barat sebagai simbol keberadaban yang oastinya tidak salah untuk dijadikan panutan, misalnya etika mereka saat makan. Dianggap tidak beretika bila saat makan berdecak keras dengan mulut terbuka, apalagi sampai bersendawa keras.Â
Pengenalan mereka terhadap peralatan makan, bukan hal yang salah bila kita memahami dan menirunya, itung-itung sebagai tambahan pengetahuan saat perjamuan makan internasional.
Hal lain adalah cara mereka berpakaian, sangat terkesan elegan dan modern, namun tetaplah cerdas mencermatnya dengan menyesuaikan dengan budaya timur kita, sebab jika tidak maka bisa terjadi hal salah kaprah sat menghadiri kondangan dengan swim suit ketat seperti saat di kolam renang.
Hal lain yang harus menjadi sebuah pemikiran kita semua adalah budaya mereka untuk bebas mengekspresikan kebebasan seksualnya, hingga melahirkan pergaulan bebas antara lawan jenis ataupun sesama jenis, jadi untuk apa sebuah pernikahan jika tanpa acara sakral itu pun, nafsu telah terpenuhi? Pernikahan hanyalah sebuah simbol, hukum Tuhan seakan dipermainkan, sebab peraturan dan larangan-Nya diinjak-injak, diabaikan, dan kisah Nabi Luth di kitab sucipun hanya dianggap dongeng semata demi pelampiasan hawa nafsu yang tiada habisnya.
Sebagai sebagai bangsa yang berbudaya ketimuran, pastilah kita harus berani bangkit melawan penjajahan hawa nafsu itu dengan kecerdasan spiritual dan emosi, siapkah Anda bangkit?
Kebebasan berpendapat dan HAM