Mohon tunggu...
Farid Mamonto
Farid Mamonto Mohon Tunggu... Freelancer - Nganggur aja

Senang bercanda, sesekali meNUlis suka-suka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita yang Enggan Kehilangan, "Guru Bangsa"

1 Juni 2020   11:08 Diperbarui: 1 Juni 2020   11:26 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku lahir di bumi Calau, Sumpur Kudus, Sumatera Barat, pada 31 Mei 1935 "Makah Darat" adalah bumi bersejarah" (Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalananku, 2019)

Di negeri ini, tidak banyak orang yang dipanggil sebagai "Guru Bangsa". Selain Buya Syafii Maarif, ada juga Nurcholish Madjid (Cak Nur), dan Abdurahman Wahid (Gus Dur). Memang tidak ada proses formal untuk mendapatkan sebutan sebagai "Guru Bangsa". Setiap orang bisa memakai istilah itu untuk menghormati orang-orang yang mereka anggap layak dan orang-orang yang mereka sukai. 

Tetapi, orang juga bisa dengan mudah melepaskan istilah itu ketika dianggap tidak pas atau tidak disukainya, namun demikian, penyematan istilah "Guru Bangsa" kepada ketiga tokoh Buya Syafii, Cak Nur, dan Gus Dur bukan hanya diberikan oleh orang-orang terdekatnya saja. Media massa, tokoh-tokoh nasional, dan masyarakat biasa pada umumnya memanggil ketiganya dengan sebutan "Guru Bangsa". 

Meski pada dasarnya panggilan itu bisa dipakai secara arbitrary (secara asal, tidak memakai system tertentu), namun panggilan tersebut baru bisa diterima secara umum jika memang ada social recognition (pengakuan sosial) terhadap orang yang dipanggil dengan sebutan itu.

Semacam Cinta Platonis

Saya pribadi mengenal Buya Syafii Maarif hanya lewat buku dan diskusi bersama sahabat-sahabat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di kampus, mereka sering mengutip pikiran-pikiran Buya manakala kami bicara. 

Ketertarikan saya untuk mengenal lebih dalam siapa Buya Syafii Maarif barulah di tahun 2018 yang lalu, ketika saya mendapatkan tawaran dari teman seangkatan semasa mengajar di SMA Negeri 1 Manado untuk coba-coba mendaftarkan diri dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Maarif Institute (LSM yang didirikan oleh Ahmad Syafii Maarif tahun 2002). Kegiatan yang bertajuk  Indonesia Millenial Movement (IMM).

Singkat cerita, dengan melewati proses seleksi yang rumit dan banyak pesaing dari seluruh Indonesia, saya terpilih menjadi satu di antara seratus anak beruntung yang mendapatkan kesempatan untuk berangkat secara gratis pergi-pulang Jakarta mewakili Sulawesi Utara (Sulut) meski tidak hanya itu sebenarnya hal yang menarik tetapi, bagi saya pribadi bisa terpilih dan berangkat ke Jakarta adalah kesempatan untuk dapat bertemu, bertatap wajah, dan bisa berdiskusi secara ekslusif dengan nama yang hanya saya temui dalam buku, dan dalam kutipan sahabat-sahabat IMM Manado, Buya Syafii Maarif.

Sayangnya, harapan saya harus kandas ditempat kegiatan saat itu,  manakala kami mendapatkan informasi bahwa Buya tidak bisa hadir oleh karena kondisi fisik beliau kurang memungkinkan (sakit). Kegiatan selama lima hari yang membahas beragam isu perihal posisi anak muda dalam membincangkan dan merumuskan bersama terkait usaha-usaha perdamaian dalam rangka pencegahan ekstrimisme kekerasan itu, mau tidak mau bagi saya masih "kurang" tanpa kehadiran Buya Syafii Maarif. bukan kegiatanya, tapi nuansanya.

Setelah lima hari menghabiskan waktu di ibu kota dan banyak bertemu dengan tokoh nasional, saya kembali ke manado dengan perasaan masih mengganjal. 

Belum setahun pasca kegiataan yang memberikan peluang saya untuk dapat bertemu dan berdiskusi dengan Buya, tepat bulan Juli 2019 saya dikagetkan dengan undangan untuk dapat menghadiri seri dialog yang bertemakan "menyatukan perbedaan, membangun negeri" yang diselenggarakan oleh Suara Muhammadiyah dan Kominfo (kementrian komunikasi dan informatika), yang membuat saya bergairah untuk bangun pagi dan segera beranjak ke tempat dialog bukan perihal tempat diskusinya hotel mewah atau uang duduknya, melainkan salah satu pemantik dialog adalah Buya Syafii Maarif. Sosok guru bangsa yang tidak dapat saya temui di ibu kota, kini mampir ke kota nyiur melambai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun