Mohon tunggu...
Farid Mamonto
Farid Mamonto Mohon Tunggu... Freelancer - Nganggur aja

Senang bercanda, sesekali meNUlis suka-suka

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Petani Penggarap dan Tantangan Pergeseran Makna

9 April 2020   04:05 Diperbarui: 9 April 2020   04:32 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: aktivitas petani penggarap saat memanen padi)

Setelah beberapa hari menginjakan kaki ditanah kelahiran, bumi vintauna. Saya kembali bergelut dengan aktivitas keluarga ditengah pandemi yang melanda dunia saat ini. Aktivitas bertani, mau tidak mau, suka tidak suka, hal itu harus saya lakoni. meski sebenarnya saya sadar betul sebagai orang yang baru pulang kampung dari kota yang masuk dalam salah-satu kota terdampak Covid-19, manado. Saya harusnya berdiam diri dirumah.

Besar hati ingin tetap dirumah, namun, aktivitas bertani tidak bisa saya menolaknya. Akhirnya dengan penuh pertimbangan, jersey dan perlengkapan memanen padi harus saya kenakan.

Namun manariknya, dari sana saya banyak mendapatkan informasi dan keluh kesah yang justru jauh dari problem dunia saat ini perihal pandemi.

Para petani, dalam hal ini adalah petani penggarap. banyak yang mengeluhkan perihal pilihan kebanyakan pemilik sawah dalam proses panen sudah tidak lagi melibatkan mereka (petani penggarap) melainkan, sudah menggunakan mesin pemanen padi yang lebih canggih.

"Saat menanam kami diajak hingga pintu rumah harus di ketuk-ketuk, setelah panen kami dilupakan dan tergantikan dengan mesin"

Memang, dalam proses menanam padi, ada upah yang dibayarkan per-hari kira-kira berkisar Rp. 100.000. Tidak gratis atau cuma-cuma. Hanya memang, dalam konteks masyarakat yang sudah mentradisikan kerja kolektif kekeluargaan selama ini, ketika ada hal baru yang menggantikan aktivitas kolektif itu, mereka merasa ada sesuatu yang hilang. Entah itu materi ataupun makna ditengah masyarakat.

Saya menyebut ini sebagai, "kekhawatiran fungsional". Kekhawatiran fungsional yang saya maksud adalah pertama, keadaan dimana para petani penggarap mulai resah manakala mereka sudah mulai kehilangan posisi dan akan digantikan dengan alat yang lebih canggih. kedua, keadaan dimana kerja-kerja kolektif ditengah masyarakat mulai terkikis sebab tradisi lama (ti'ayo) sepertinya akan segera punah dan berpotensi memutus jaringan makna.

Ti'ayo dan masyarakat vintauna

Ti'ayo atau dalam bahasa yang di populerkan oleh Bung Karno sebagai "gotong royong" memang benar-benar menjadi perekat hubungan kekelurgaan dan kemanusiaan ditengah masyarakat yang mayoritas petani.

Sebagai orang yang lahir dan besar dibumi vintauna. saya sangat merasakan betul bagaimana jalinan persaudaraan manakala proses bercocok tanam atau proses memanen telah tiba. Dengan sukarela kita berbondong-bondong mengamini undangan untuk bercocok tanam/memanen baik disawah, ladang, dan gunung.

Prosesinya bisa beragam: ada yang membawa alat musik ke kebun sebagai media hiburan, ada yang menyediakan makan baik kue, ataupun makanan berat semisal nasi putih, ikan, dan lain-lain. Setelah proses bercocok tanam selesai akan ada yang saling menyiram (baku siram) air satu dengan yang lain pertanda senang dan seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun