Dilantiknya Presiden Joko Widodo untuk periode kedua menandai langkah baru Indonesia untuk lima tahun kedepan. Beragam prioritas pembangunan, baik itu yang sudah berjalan dari periode sebelumnya ataupun program baru, menandai langkah presiden untuk menata Indonesia ke arah yang lebih baik.Â
Salah satu prioritas pembangunan yang terus digaungkan adalah bidang pendidikan. Langkah awal presiden untuk melancarkan prioritas pembangunan ialah dengan melantik para menteri yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Baru. Terdapat wajah lama dan wajah baru yang turut menghiasi kabinet tersebut. Salah satu wajah baru yang menjadi perhatian adalah Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Nadiem menjadi perhatian karena latar belakangnya tidak sesuai dengan posisi yang ia tempati yakni pendidikan.
Pandangan terhadap Nadiem (yang kemudian disebut Mas Menteri) sirna ketika ia mengeluarkan program 'merdeka belajar', sebuah program yang mendobrak sistem pendidikan yang monoton. Merdeka Belajar menjadi salah satu program inisiatif Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim.Â
Mendikbud Nadiem ingin menciptakan suasana belajar yang bahagia. Gagasan Merdeka Belajar mengingatkan saya ketika  melakukan penelitian tentang "merdeka belajar" zaman kolonial. Lebih jelasnya mengenai 'Akses Pendidikan bagi Pribumi pada Periode Etis (1901-1930)'. Frasa 'merdeka belajar' pada zaman kolonial dapat diartikan sebagai kebebasan pribumi untuk mengenyam pendidikan formal ala Barat
Merdeka Belajar pada zaman kolonial ditandai ketika pendidikan di Nusantara memulai tahapan baru yang lebih progresif ketika memasuki awal abad ke-20, yakni dengan dimulainya zaman Etis dengan semboyannya adalah kemajuan. Kemunculan artikel Een Eereschuld (Utang Kehormatan) yang dimuat dalam majalah De Gids tahun 1899 dan ditulis C. Th van Deventer, telah mendorong lahirnya Politik Etis atau Politik Balas Budi yang secara resmi dicanangkan oleh Ratu Belanda tahun 1901 (Leirissa, 1985: 21-23).
Hal ini didasari bahwa pemerintah Belanda mempunyai utang budi dan tanggung jawab moral untuk menyejahterakan masyarakat pribumi. Politik Etis mempunyai tiga program, antara lain mengenai irigasi, transmigrasi, dan pendidikan. Shiraishi (1997: 37) menuturkan bahwa perluasan pendidikan gaya Barat adalah tanda resmi dari Politik Etis. Meskipun pendidikan ini hanya memproduksi jenis tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, akan tetapi di sisi lain pendidikan ini penting untuk mengangkat derajat masyarakat pribumi.
Walaupun pendidikan berujung menjadi alat untuk melawan dominasi kolonial dan dapat dengan jelas terlihat bahwa pendidikan--- yang diberikan pemerintah kolonial--- dapat menjadi senjata untuk memberantas kolonialisme di Nusantara. Akan tetapi, terdapat suatu ambivalensi antara
Politik Etis dan pendidikan sebagai salah satu programnya.
Pada dasarnya semangat Etis adalah perasaan keadilan. Cita-cita kemanusiaan merupakan sasaran utama dari Politik Etis. Meskipun demikian, pemberian pendidikan kepada pribumi tidak diberikan begitu saja meskipun pendidikan ini merupakan produk dari Politik Etis. Akses warga pribumi
kebanyakan atas pendidikan modern ketika itu sangat terbatas. Pendidikan kolonial memang tidak pernah secara sengaja dimaksudkan untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi di wilayah koloni (Boone, 1986: 87-92 dalam Suwignyo, 2019: 2).
Bisa dibilang, penguasa kolonial tidak mungkin sepenuhnya menerapkan kebijakan yang mengeluarkan pengeluaran besar, seperti pendirian sekolah, jalan raya, jembatan, dan gedung publik. Di sisi lain, kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial, khususnya di bidang pendidikan didorong oleh kepentingan keuntungan ekonomi bagi mereka sendiri alih-alih oleh motif untuk meningkatkan keberadaban rakyat setempat (Furnivall, 1939: 365).Â
Hal ini terbukti di Hindia Belanda, bahwa motif pendidikan Politik Etis adalah untuk mendapatkan tenaga kerja terdidik dan murah untuk bekerja untuk perkebunan Belanda dan pegawai kantoran.