Mohon tunggu...
Fajrul Affi Zaidan Al Kannur
Fajrul Affi Zaidan Al Kannur Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Lidah akan terus berkata jujur, selagi hatinya ikhlas dan luhur

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Sepak Bola Kendaraan Politik Dalam Pilkada

3 Juli 2018   21:23 Diperbarui: 3 Juli 2018   21:39 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : https://football-tribe.com

Setiap pelaksanaan pemilihan umum( Pemilu) selalu memunculkan fenomena unik dan langka yang menarik untuk ditelisik jauh lebih dalam. Dalam Pilkada serentak 2018 yang baru saja usai dilaksanakan, terdapat fenomena menarik dimana terdapatbeberapa calon kepala daerah yang datang latar belakang sepakbola. Mereka umumnya, merupakan pengurus atau mantan pengurus federasi dan klub sepakbola yang ada di Indonesia. 

Keterlibatan sepakbola dalam dunia politik sudah tentu bukan barang baru untuk kita. Sebesar apapun usahanya sepakbola tidak bisa lagi dipisahkan dari kepentingan politik dan bisnis, namun dibalik fakta itu terselip ironi dimana sepakbola bukanlah alat yang digunakan untuk memperoleh jabatan. Sepakbola dengan segala keindahannya diperuntunkan untuk penikmatnya sebagai hiburan dikala penat dengan aktivitas kehidupan sehari-hari.

Dalam kontestasi pilkada serentak 2018 setindaknya ada tiga calon kepala dan wakil kepala daerah yang merupakan pelaku sepakbola yaitu, mantan Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid, yang mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulawesi Selatan. Kemudian, ada Ketua Umum PSSI saat ini, Edy Rahmayadi, yang maju sebagai calon Gubernur Sumatra Utara (Sumut).

 Serta Sihar Sitorus, mantan Komite Eksekutif PSSI era Djohar Arifin yang mencalonkan diri sebagi Wakil Gubernur Sumut mendampingi Djarot Syaifullah Yusuf. Mereka menjadikan sepakbola sebagai kendaraan politik dan mesin politik untuk mendulang suara. Terlepas dari kekuatan figur sebagai politikus dan profesinya, kekuatan popularitas di sepakbola tak bisa dikesampingkan. Popularitas intenal tokoh dibangun lewat karier politik dan profesinya, sementara popularitas eksternal bisa dibangun lewat sepakbola. 

Masa eksternal jauh lebih besar dan sangat banyak. Maka, tak heran jika sepakbola dijadikan senjata untuk berpolitik. Efektivitas kampanye menggunakan sepakbola sebagai medianya terbukti cukup jitu. Hal itu tidak terlepas dari pesan-pesan kampanye yang dirancang sesuai analisis dan tersegmentasi kepada pecinta sepakbola misalnya pembangunan stadion sebagai fasilitas penunjang sepakbola, mengupayakan dan mencarikan sponsor untuk mendanai kebutuhan klub, dam pada ujungnya klub akn dijanjikan memiliki prestasi tinggi. Selain itu, kecintaan dan fanatisme masyarakat Indonesia terhadap sepakbola menjadi faktor pendukungnya.

Dari hasil Quick Count berbagai lembaga survei dan Real Count yang dilakukan KPU pasangan calon Gubernur Sumut Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah unggul atas lawannya Djarot Syaifullah Yusuf- Sihar Sitorus. 

Hal ini memunculkan tanda tanya bagaimana Edy Rahmayadi menjalankan strategi politiknya lewat sepakbola sehingga berhasil dalam pilkada Sumut kali ini. 

Pertama, keputusannya untuk pensiun dini dari tentara dan memutuskan maju dalam bursa pemilihan Ketua Umum PSSI setelah adanya konflik panjang dan pembekuan oleh FIFA ditubuh PSSI menjadikan dirinya sebagai sosok pembawa perubahan, hal ini ikut melambungkan namanya ke tingkat nasional dan sering sorot oleh media. Langkah awal inilah yang menjadi modal awal Edy Rahmayadi terjun ke dunia perpolitikan nasioanal. 

Kedua, Edy Rahmayadi bertindak layaknya Dewa Penyelamat dimana saat keadaan tim PSMS Medan sedang kritis akibat konflik kepemilikan dan dualisme kompetisi, dirinya hadir sebagai Pembina tim PSMS Medan dan membawa PSMS Medan promosi ke kasta teratas kompetisi nasional. Tak pelak hal ini membuat pecinta bola Sumatra Utara khusunya suporter PSMS Medan mengeluh-eluhkannya sebagai penyelamat tim kebanggaan mereka. Daya tarik ini yang menjadi modal untuk menggaet suara dan membuatnya yakin untuk maju dalam pilkada. Lewat cara inilah Edy Rahmayadi membangun ketokohannya sebagai pemimpin di Sumatra Utara Fenomena ini sama dengan kisah silvio berlusconi yang secara populis menggunakann tim AC Milan untuk pencitraannya di Italia. 

Ketiga, untuk membangun citra positif Edy Rahmayadi menggunakan kekuatan PSMS dengan menggaet pelatih ternama Djajang Nurdjaman dan beberapa pemain bintang lainnya. Hal ini akan meningkatkan popularitas PSMS Medan sekaligus popularitas dirinya. Lewat cara ini elektabilitasnya pun meningkat, elektabilitas yang tinggi akan mendorong mesin politik dalam hal ini partai politik (parpol) untuk bekerja membantu mensukseskan tujuannya. 

Ketika ketokohan seseorang dalam Pilkada telah terbentuk maka dengan sendirinya mesin politiknya akan bekerja dengan efektif dan maksimal karena telah didukung ketokohan dari calon yang akan mejundalam Pilkada tersebut. Sementara itu, jika ketokohan seseorang dalam Pilkada belum terbentuk dan hanya mengandalkan kerja partai politik pendukung yang dibeli lewat uang mahar, maka kerja mesin politiknya tidak akan bekerja secara maksimal dan hasilnya pun nihil. Hal inilah yang dilakukan oleh Edy Rahmayadi dengan membangun ketokohannya lewat sepakbola terlebih dahulu, hingga akhirnya mampu menggaet partai-partai politik untuk mendukungnya dan mampu berjaya di Pilkada serentak 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun