Mohon tunggu...
Fajar Junaedi
Fajar Junaedi Mohon Tunggu... -

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, meminati kajian di bidang cultural studies, broadcasting dan supporter studies

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Terorisme dan Bagaimana Media Bersikap

4 November 2011   02:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:05 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Oleh Fajar Junaedi

Hari minggu berdarah. Sebuah ironi menyedihkan di tengah negara multikultur yang berbhineka tunggal ika ini, saat bom bunuh diri meledak di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Solo. Tindakan ini menyebabkan satu orang meninggal dan puluhan jemaat gereja terluka.

Aksi terorisme ini membuka kembali ingatan publik tentang ancaman aksi terorisme yang masih menghantui Indonesia. Aksi terorisme yang bisa terjadi kapan saja, tanpa memandang apakah terjadi di ibukota negara maupun kota lain di daerah yang dilakukan oleh sekelompok orang.

Aksi terorisme sebenarnya tidak bisa dimaknai sebagai semata-mata tindakan pembunuhan atas kemanusiaan, namun juga sebagai tindakan komunikasi yang dilakukan oleh kelompok tertentu yang berusaha mendapatkan ekspos pemberitaan dari aksi terorisme mereka. Dengan pemberitaan ini, mereka berusaha menyuarakan sikap politiknya yang berseberangan dengan opini publik. Bahkan untuk mendapatkan ekspos pemberitaan ini, kelompok teroris tega melakukan aksi terror yang menyebabkan nyawa terenggut.

Sebagai aktor dalam komunikasi politik, umumnya teroris memiliki keterbatasan dalam menyuarakan kepentingannya, baik keterbasatan secara ekonomi maupun keterbasan sosial budaya. Ini berbeda dengan aktor komunikasi politik lainnya, seperti partai politik, kelompok kepentingan dan sejenisnya yang memiliki cukup modal ekonomi untuk menyuarakan gagasannya. Aktor politik ini juga memiliki modal sosial budaya yang baik dalam membangun komunikasi dengan media massa melalui aktivitas kehumasannya. Ini berbeda sekali dengan kelompok teroris yang mengambil jarak dengan media dan publik, karena aktivitas mereka bersifat inkonstitusional.

Brian McNair dalam bukunya Introduction to Political Communication (1999), menyebutkan bahwa  teror adalah sebuah bentuk komunikasi politik, yang dilakukan di luar prosedur konstitusional. Para teroris mencari publisitas untuk membawa tujuan psikologis mereka. Para teroris menggunakan kekerasan untuk menghasilan berbagai efek psikologis seperti demoralisasi musuh, mendemosntrasikan kekuatan gerakan mereka, mendapatkan simpati publik dan menciptakan ketakutan dan chaos. Untuk mencapai tujuan ini, para teroris harus mempublikasikan aksi mereka.

Melalui publisitas yang tercipta dari pemberitaan mengenai aksi terorisme yang mereka lakukan, kelompok teroris melakukan komunikasi dengan pemerintah di negara tempat mereka melakukan aksi terorisme dan bahkan pemerintah luar negeri. Dengan demikian, sebenarnya kelompok teroris berusaha menciptakan agenda media dengan harapan ada perhatian dari publik terhadap aksi mereka.

Kerangka berfikir para teroris dalam usahanya mencuri perhatian media ini bisa dibuktikan dari beberapa aksi terorisme yang mematik perhatian dunia internasional, seperti aksi 11 September 2001 yang diarahkan pada gedung World Trade Center (WTC). Aksi teroris ini langsung menjadi perhatian masyarakat dunia setelah ekspos media yang sangat besar.

Di Indonesia, aksi terorisme juga sering ditujukan kepada representasi dari masyararakat Barat, seperti aksi bom bunuh diri Bali maupun aksi bom bunuh diri yang menyerang kedutaan Australia. Logika untuk mendapatkan publisitas media tentu semakin bisa dipahami.

Aksi pengeboman yang dilakukan terhadap gereja sebagaimana yang terjadi pada GBIS juga mengingatkan kita pada aksi pengeboman yang dilakukan terhadap tempat ibadah terutama gereja di tahun 2000-an awal. Bedanya, aksi yang dilakukan pada saat itu bukan bom bunuh diri, berbeda dengan aksi saat ini yang dilakukan dengan aksi bom bunuh diri. Baik dilakukan dengan bom bunuh diri maupun tidak, para teroris memiliki motif yang sama yaitu menciptakan publisitas.

Pergeseran aksi bom bunuh diri ke daerah, bukan lagi di Jakarta atau Bali tidak bisa dimaknai bahwa kelompok teroris tidak menyadari tentang publisitas. Jika sebelumnya aksi bom banyak terjadi di ibukota negara dan Bali, bisa dimaknai kelompok teroris pada saat itu belum tersudut oleh operasi aparat keamanaan. Saat ini kelompok teroris di Indonesia semakin tersudut, terutama setelah beberapa elit mereka terbunuh dalam operasi aparat keamanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun