Mohon tunggu...
Arba IndaFajarini
Arba IndaFajarini Mohon Tunggu... Guru - Bertumbuh melalui Menulis

Zonnebloem

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pramuka Berbudaya Literasi untuk Melawan Hoaks

27 November 2020   11:51 Diperbarui: 27 November 2020   11:52 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di era globalisasi ini, kita tidak bisa menahan arus informasi yang keluar-masuk di sekitar kita. Dengan gawai canggih dan jaringan internet dalam genggaman, segala hal dari mulai perkara sepele hingga urusan kenegaraan di dalam maupun luar negeri dapat kita ketahui saat itu juga.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memang memiliki dampak positif dan negatif. Jika dimanfaatkan dengan baik, teknologi informasi dan komunikasi dapat membantu memudahkan kegiatan kita sehari-hari. Namun, ada juga dampak negatif dari kemajuan teknologi informasi salah satunya adalah berita bohong (hoax).

Persoalan hoax masih menjadi masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia. Hoax berkembang karena cara berpikir masyarakat yang merasa selalu benar dan mudah menerima informasi tanpa melakukan pengecekan terlebih dahulu. Mengutip dari Kompasiana.com, Debora Sormin dalam penelitiannya (Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, 2017) menjelaskan bahwa sebuah berita dikatakan hoax jika mengandung unsur penyimpangan informasi, dramatisasi fakta, serangan privasi, pembunuhan karakter, dan meracuni pikiran anak. Informasi yang berpotensi memecah belah masyarakat sangat merugikan semua pihak. Adanya berita hoax yang menyebarkan keburukan pihak tertentu dapat memicu konflik dan membahayakan stabilitas negara. Berita hoax yang pernah beredar di media massa online demikian banyak mulai dari yang bernuansa politik, kesehatan, maupun hal-hal iseng yang akrab dengan keseharian kita misalnya penampakan awan dengan bentuk unik di daerah tertentu.

Penyebaran hoax di masyarakat dipengaruhi oleh minimnya literasi atau budaya membaca. Tanpa membaca suatu berita secara keseluruhan serta mencari sumber-sumber pendukung, masyarakat cenderung langsung percaya dengan isi berita tersebut. Apalagi jika judul berita tersebut sudah mencantumkan kata "viral", maka berita tersebut akan semakin cepat disebarluaskan walaupun belum tentu kebenarannya.

Literasi, di awal, dimaknai 'keberaksaraan' dan selanjutnya dimaknai 'melek' atau 'keterpahaman'. Pada langkah awal, 'melek baca' dan 'tulis' ditekankan karena kedua keterampilan berbahasa ini merupakan dasar bagi pengembangan melek dalam berbagai hal atau disebut "multiliterasi" (Panduan GLS SMA 2016). Agar mampu bertahan di abad 21, masyarakat harus menguasai enam literasi dasar, yaitu literasi baca-tulis, literasi berhitung, literasi sains, literasi teknologi informasi dan komunikasi (literasi digital), literasi keuangan, serta literasi budaya dan kewarganegaraan. (Materi Umum Literasi dalam Pembelajaran, 2017)

Mengembangkan budaya membaca di kalangan masyarakat untuk memastikan masyarakat mampu membaca perkembangan teknologi sangat diperlukan untuk menangkal penyebaran hoax. Lemahnya budaya literasi bagi masyarakat akan berdampak pada lemahnya daya dalam bernalar. Lemahnya kemampuan bernalar akan membuat seseorang sulit berpikir jernih dan kritis dalam menemukan setiap masalah, yang tercermin adalah emosi dan egoism. Alhasil, isu-isu provokatif dan hasutan yang dihembuskan berita berita tipuan dengan mudah disesuaikan dan disebarkan.

Seorang anggota Pramuka sebagai agen perubahan harus memiliki kemampuan literasi yang unggul baik literasi baca-tulis maupun literasi digital. Literasi Digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari (literasinusantara.com).

Pada lembaga-lembaga pendidikan formal, Gerakan Literasi Sekolah sudah banyak digalakkan. Begitu pula dalam kegiatan Kepramukaan, literasi harus dibudayakan sejak golongan siaga hingga anggota dewasa. Mulai dari literasi dasar yakni membaca buku hingga multiliterasi yakni keterampilan menggunakan beragam cara untuk menyatakan dan memahami ide-ide dan informasi dengan menggunakan bentuk-bentuk teks konvensional maupun bentuk-bentuk teks inovatif, simbol, dan multimedia (Abidin, 2015). Peran Pembina sangat dibutuhkan untuk mengawal dan menerapkan budaya literasi dalam setiap kegiatan Kepramukaan. Apalagi anggota Pramuka sekarang adalah para generasi milenial yang tidak bisa lepas dari media sosial. Pembina harus memberikan pemahaman dan pengawasan mengenai penggunaan media sosial yang digunakan oleh adik-adik binaannya agar sesuai dengan tujuan utama yaitu mendukung kegiatan Kepramukaan yang menarik dan menantang.

Dengan memiliki kemampuan literasi yang baik, diharapkan anggota Pramuka yang berpikir kritis mampu menjadi tameng masyarakat dalam menangkal penyebaran berita-berita bohong. Justru sebaliknya, Pramuka harus menjadi pewarta yang mampu memberikan informasi-informasi positif bagi masyarakat. Seorang Pramuka harus memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi sehingga diharapkan dapat menjadi agen pemersatu bangsa yang hampir terpecah-belah akibat isu-isu SARA yang disisipkan dalam berita-berita hoax.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun