Mohon tunggu...
Fajar Billy Sandi
Fajar Billy Sandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

I'm a hidden king of rock and roll

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Lucky Number 13: Tiga Belas Film Terbaik Sepanjang Tahun 2013

25 Desember 2013   18:27 Diperbarui: 4 April 2017   18:23 911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

A: Why is it called Fine Arts? Are there arts that are ugly? B: No ugly arts. I mean... some can be ugly. But it's subjective. Because there are also Decorative Arts, Applied Arts... There's no Ugly Arts school. A: Why not? B: That's a good point. At the time of the Impressionists, everyone who was rejected from the Salon for beautiful paintings and everyone who was considered "ugly" went to the Salon of the... A: Ugly? B: Sort of the Salon of the Ugly. The best artists.

Fine arts. Seni yang paling tinggi. Film bagus dan film jelek. Kartu matinya ada di kata subjektif. Pilihan bagus dan jelek ada di masing-masing pribadi. Saat menemui kesamaan di tiap pendapat, tentu tidak ada masalah. Tapi saat pendapat tadi saling bertolak belakang, ini yang bisa jadi bahaya. Tapi saya percaya dengan love at first sight. Seperti dialog di atas, yang diambil dari film Blue is the Warmest Color, salah satu film kontroversial yang paling banyak dibicarakan tahun 2013 ini. Filmnya sangat berkelas, buktinya ikut komptisi dalam Festival Film Cannes 2013 dan keluar sebagai pemenang penghargaan paling tertinggi, tropi Palm D'or. Tapi di balik itu, ada perkara soal adegan seks lesbian sepanjang 10 menit dan sikap tidak enak antara sutradara film dengan 2 aktirs utamanya. Terlepas dari itu, Blue dengan cermat membicarakan love at first sight tadi, cinta pandangan pertama. Bagi saya, menonton film adalah salah satu kegiatan spiritual, maka saat saya bisa terhubung dengan film itu dari kali pertama menonton, ada semacam kesenangan yang tidak terbatas. Kalau seks sudah mencapai orgasmenya. Meski banyak juga film yang baru klik di saya setelah kali kedua atau ketiga menontonnya. Akhir 2013 sudah di depan mata dan ini adalah kali ketiga saya membuat daftar film-film terbaik di Kompasiana. 2013 sayangnya bagi saya cukup mengecewakan. Secara pribadi, banyak film-film yang tanggung. Ekspektasi saya mungkin yang terlalu tinggi, jadi saat menonton film dan ekpektasi saya tidak tercapai yang datang malah kecewa (ya, saya berbicara soal Gravity). Bahkan, Bret Easton Ellis, salah seorang penulis bermulut besar yang terkadang omongannya ada benarnya juga, mengatakan kalau 2013 adalah tahun terbaik dalam film merupakan perkara pepesan kosong untuk membuat pekerjaan mereka (para kritikus film) agar masih relevan atau hanya sekumpulan orang-orang idiot. Hal itu sangat bisa dimengerti dan saya berada di sisi Ellis tentang pendapat itu. Kalau Anda sering mengikuti berita soal film, maka daftar film terbaik yang muncul di akhir tahun, yang selalu banyak terlihat adalah film-film yang dirilis pada kuarter akhir tahun saja. Film-film yang rilis di awal dan pertengahan tahun langsung dilupakan. Ini wajar karena kebanyakan kritikus langsung fokus pada pegelaran Oscar, yang mana banyak disebut-sebut sebagai definisi fine arts-nya sebuah film, meskipun saya tidak setuju. Atau mungkin para kritikus tadi sama seperti saya, masih mengalami euforia love at first sight. Film-film terdahulu dilupakan, datang film baru. Terdengar tidak adil, tapi ini namanya industri. Terkenal dalam 15 menit itu sangat wajar. Sehingga ini yang menjadi dasar saya untuk membuat daftar film-film terbaik di tahun 2013. Saya mencoba untuk meruntut film-film yang mendefinisikan 2013 lewat rilisan sejak awal tahun. Saya mencoba adil untuk mengecilkan lingkup ke film-film yang secara resmi rilis di Indonesia, entah itu tayang di jaringan bioskop ataupun ketika diputar di festival. Karena saya sering mendapat komentar, "Sayang sekali, saya belum menonton filmnya." Saya ingin saat ada yang berkomentar, bisa lebih relate dengan tulisan ini. Meski tidak bisa dipungkiri, saya tetap bandel untuk kerap mengunduh secara ilegal. "Kalau tidak begitu, tidak akan terkejar," begitu kata saya dalam hati. Apalagi melihat film-film yang lulus sensor dan tayang di Indonesia, kebanyakan adalah film mainstream Hollywood, sedangkan saya haus dengan film-film lain. Sayangnya, saya tidak memunculkan film Indonesia terbaik untuk tahun 2013. Jujur, saya hanya sedikit menonton film Indonesia tahun ini. Satu film saya tonton hanya untuk lucu-lucuan, yaitu Taman Lawang yang lagi-lagi menggambarkan kaum minoritas sebagai bahan tertawaan. Kemudian dua film fine arts lokal, yaitu What They Don't Talk About When They Talk About Love karya Mouly Surya dan Something in the Way karya Teddy Soeriaatmadja (Reza Rahardian bugil di sini) yang terlalu "megah." Dan terakhir adalah Sokola Rimba yang begitu manis memperlihatkan dongeng orang Rimba tapi malah berkahir menjadi feel-good movie yang terlalu formulatik. Bagi saya, film Indonesia sudah kehilangan momentumnya, tidak seperti 10 tahun lalu saat film Indonesia tengah bangkit dan sedang giat-giatnya membuat film bagus. Ditambah juga penonton Indonesia yang sudah kehilangan sopan-santun dan tata kramanya di dalam gedung bioskop. "Gue bayar, gue bisa ngapain aja." Mungkin pikirnya seperti itu. Tapi ada juga perilaku sebagian orang-orang yang kebetulan menulis film dan bisa mendapatkan kesempatan menonton lebih awal (gratis pula) yang bertindak 11-12 dengan yang sudah disebutkan di atas. Dan itu masih terjadi di tahun 2013. Tapi saya masih menaruh respek lebih dengan orang-orang yang masih mau menyisihkan waktu dan uangnya ke bioskop untuk menonton film Indonesia. Ada ratusan film yang rilis di tahun 2013 dan saya akui kalau saya tidak menonton semuanya karena keterbatasan waktu. Setidaknya saya mencoba untuk menutup ketinggalan tadi dengan menonton sekitar 149 film. Dari 13 film yang saya tonton, 11 saya tonton di bioskop, 1 dalam keping DVD, dan satu lagi dalam seminar. Tanpa perlu panjang lebar lagi, berikut daftarnya. Dan tidak lupa juga saya megucapkan selamat hari Natal 2013 dan tahun baru 2014.

#10 The Hunger Games: Catching Fire (2013)

[caption id="attachment_301161" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Lionsgate"][/caption] Inilah satu-satunya popcorn movie yang sangat memuaskan di tahun 2013. Film-film blockbuster 2013 terlalu mengecewakan buat saya, terlalu kosong seperti popcorn yang saya makan. Meski sempat pesimis dengan film ini, tapi saya salah. The Hunger Games: Catching Fire adalah bukti novel YA kalau digarap serius hasilnya juga akan bagus. Mungkin karena materi aslinya, yang saya sendiri belum membacanya sama sekali, sudah bagus. Ada metafora politik di sini, bukan sekedar cinta segi tiga ABG. Mereka yang pesimis bilang lanjutan ini terlalu mengulang dan marah-marah dengan ending yang menggantung. Tapi bukan itu persoalannya. The Hunger Games: Catching Fire memperlihatkan pendalaman karakter yang kuat. Ini yang dibutuhkan sebuah film. Kemenangan justru tidak membuat Katniss (Jennifer Lawrence) dan Peeta (Josh Hutcherson) hidup enak, malah ada beban baru dan memperlihatkan kebohongan untuk konsumsi publik. Tagline-nya saja sudah pas, "Every revolution begins with a spark." Revolusi memang belum dimulai, tapi percikan the girl on fire sudah meledak duluan di sini.

#9 Frozen (2013)

[caption id="attachment_301164" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Disney"]

13879691641136524003
13879691641136524003
[/caption] Berbeda dengan 2012, 2013 justru menjadi tahun yang sangat lemah untuk film animasi. Beberapa judul yang masuk ke Indonesia, sebut saja The Croods, Turbo, Despicable Me 2, dan Cloudy with a Chance of Meatballs 2 terlalu basic. Apalagi saat Pixar membuat kesalahan fatal lewat prequel Monsters University. Harapan muncul saat Disney merilis Frozen, yang didasarkan pada dongeng The Snow Queen. Cerita tentang princess bisa menjadi fatal apabila mengikuti formula. Damsel in distress yang ditolong oleh Prince charming. Tapi meski Frozen masih mengambil jalan aman, kisah cinta ala dongeng yang dibalut dengan unsur musikal, Disney dengan berani untuk memilih cara yang cukup edgy dengan membawa isu feminis ke ranah anak-anak. Princess Elsa dan Anna bukan damsels in distress, keduanya memiliki kekuatan masing-masing dan tidak memilih untuk diselamatakn pangeran tampan. Ada makna true love baru dalam Frozen.

#8 Captain Phillips (2013) + Rush (2013)

[caption id="attachment_301167" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Columbia Picture"]

13879693451449897682
13879693451449897682
[/caption] Biopik biasanya memilki durasi yang panjang, minimal 2 jam 30 menit. Karena film biopik ingin memperlihatkan kisah panjang nan melodramatik tentang sukses atau penderitaan orang yang pernah hidup demi kisah yang inspiratif. Penonton pun biasanya sudah tahu dengan ending di film biopik, tapi tetap ada detail menarik yang bisa disimak. Inilah pintar-pintarnya seorang filmmaker untuk membuat biopik yang tidak pasaran. Ambil satu segmen menarik dari kisah hidup seseorang, kemudian didramatisir. Kedua film ini berhasil memperlihatkan hal itu. Captain Phillips dengan yakin mengedepankan "tanggung jawab" sebuah pekerjaan di tengah situasi yang sulit. Memang masih terlalu memperlihatkan Amerika sebagai negara yang superior, namun sutradara Paul Greengrass membawa masing-masing perspektif dari tokoh-tokohnya sehingga penonton bisa bersimpati dengan orang-orang yang dibajak atau para perompak Somalia ini. [caption id="attachment_301169" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Universal Pictures"]
13879694242120518443
13879694242120518443
[/caption] Sedangkan Rush membawa makna rivalitas ke arti yang lain. Rush pun menjadi bukti kalau sutradara Ron Howard bisa memoles akting Chris Hemsworth. Kebanyakan kredit akting hanya diberikan ke Daniel Bruhl, yang memang tampil memukau sebagai Nikki Lauda, sedangkan Hemsworth terlalu dilupakan. Yang muncul di layar bukan Hemsworth yang biasa kita tonton sebagai Thor, tapi adalah persona James Hunt, sang pebalap sialan itu. Yang bukan penikmat balapan Formula 1 tetap bisa menikmati film ini.

#7 Snowpiercer (2013) + Stoker (2013)

[caption id="attachment_301172" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: CJ Entertainment"]

13879695871561393799
13879695871561393799
[/caption] Hollywood juga kena imbas Korea Selatan, seperti dua film ini. Yang pertama adalah Snowpiercer yang melibatkan sutradara Bong-Joon Ho dengan aktor-aktris Hollywood. Lagi-lagi soal mimpi buruk masa depan yang Hollywood bawa lewat fiksi ilmiah tentang kereta yang mengelilingi dunia tanpa henti dan bermuatan para penduduk bumi. Ada isu tentang kelas sosial, masalah seksualitas, dan juga muncul metafora politik sebuah rezim. Masing-masing kelas politik mendapat porsi yang pas untuk dibahas. Tentunya penampilan Tilda Swinton dengan dandanan ala Princess Leia menjadi pencuri perhatian di sini. Beruntung publik Indonesia bisa melihat film ini sekitar November 2013 kemarin, karena di Amerika sendiri distribusi untuk Snowpiercer masih tertahan agar bisa dipoles ulang oleh Harvey Weinstein. [caption id="attachment_301175" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Fox Searchlight"]
13879696762024492594
13879696762024492594
[/caption] Sedangkan Stoker menjadi debut Hollywood yang sempurna bagi Park Chan-wook dalam film berbahasa Inggris dengan memvisualisasikan naskah gila karya Wentworth Miller. Ini jadinya kalau cerita horor ala Hitchcock bertemu dengan fashion Korea yang unik. Kekejaman bisa terlihat indah dalam cerita gelap keluarga Stoker. Tidak ada hubungannya dengan makhluk penghisap darah bernama Drakula, tapi masih sama berdarah-darahnya, elegan, dan penuh nafsu.

#6 Silver Linings Playbook (2012)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun