Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hanya Mengasihi Orang yang Seagama denganmu, Apakah Jasamu?

23 Juli 2019   11:45 Diperbarui: 23 Juli 2019   11:46 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:salamduajari.co.id

Agama kita boleh beda, keyakinan kita boleh taksama, tetapi darahmu dan darahku masih merah. Ya, merahnya darah kita masih menunjukkan bahwa kita sama-sama manusia biasa. Engkau manusia aku manusia. Aku mencintaimu karena engkau manusia sama denganku. Aku bersahabat denganmu, engkau menolongku di kala sulit karena saya melihat sejatinya engkau dan aku adalah manusia.  Agama hanyalah bungkus kasatmata yang “seolah-olah” memisahkan kita sebagai manusia. Dan aku telah berjanji untuk tidak berhenti di bungkusan itu, ketika mau bersahabat denganmu.

Kata-kata di atas adalah pesan dari sahabatku. Karena terlahir dari keluarga dengan latar belakang agama yang berbeda, kami pun menganut agama keluarga besar kami masing-masing. Meski kesannya itu agama warisan leluhur, tetapi masing-masing kami kemudian mendalaminya, mencintainya, dan berusaha menghayatinya. Dia menjadi muslimat yang setia dan aku menjadi kristiani yang taat.

Perbedaan tidak lantas membuat persahabatan kami putus, meski suara-suara sekitar baik di pihakku maupun di pihaknya mulai mempertanyakan persahabatan kami yang tidak wajar, persahabatan tulus tanpa memandang perbedaan agama yang kami anut. Dia tidak terpengaruh sedikitpun dengan kata-kata sinis di sekitarnya yang menyudutkannya karena persahabatan kami. Dia selalu mengatakan yang berhak mengatakan kafir atau tidak seorang insan hanyalah Sang Empunya Hidup. Aku pun demikian, aku tetap bersahabat dengannya meski banyak yang melihatnya sebagai sebuah “keanehan.”

Aku selalu ingat kata-kata Sang Guru: “jika engkau mengasihi orang yang mengasihi engkau, apakah jasamu?” Kalimat ini meringkaskan banyak hal yang perlu diluruskan dalam hidup ini. Jika engkau hanya mengasihi orang yang seperasaan, sependapat, seide, dan seagama denganmu, apakah jasamu? Jika engkau tidak mengasihi orang yang membencimu, apakah jasamu? 

Pertanyaan retoris Sang Guru di atas menantangku untuk mengasihi orang lain bukan atas kesamaan karena itu biasa, karena binatang pun tahu dan melakukan itu. Namun, manusia yang adalah citra diri Sang Empunya Hidup sendiri harus mengasihi melampaui kasih naluriah yang ditunjukan binatang.

Kasih manusia semestinya mampu mengatasi sekat-sekat perbedaan karena lahir dari kesadaran bahwa di balik kulit yang berbeda terdapat isi yang sama yakni aku, kau, mereka, dan kita sama-sama manusia. Aku mengasihimu karena engkau manusia.

Hal ini mengingatkanku akan kata-kata seorang penyair dan mistikus besar Islam yang kukagumi, Jalaluddin ar-Rumi:

“Tidak pernah ada kekasih yang tidak dicari oleh kekasihnya. Jika kilat cinta telah menyambar satu hati, maka ketahuilah bahwa cinta ada cinta di hati yang lain. Jika cinta Tuhan telah tumbuh di hatimu, tak diragukan lagi bahwa Tuhan pasti menaruh cinta kepadamu. Tak ada suara tepuk tangan yang lahir dari satu tangan. Kebijaksanaan ilahi adalah takdir dan suratan nasib yang membuat kita saling mencintai satu sama lain. Karena takdir itulah, setiap bagian dari dunia ini bertemu dengan pasangannya yang jelas berbeda tampaknya. Dalam pandangan para bijak langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan; bumi memupuk apa yang telah dijatuhkan oleh lagit. Jika bumi kekurangan panas, maka langit mengirimkan panas kepadanya; jika bumi kehilangan kesegaran dan kelembaban, langit segera memulihkannya...Tuhan juga menanamkan semua eksistensi  hasrat untuk mengasihi belahannya. Siang dan malam tampaknya bermusuhan; namun keduanya mengabdi pada satu tujuan. Masing-masing saling mencintai untuk menyempurnakan karya bersama mereka. Tanpa malam, alam manusia tidak akan punya penghasilan, sehingga tidak ada yang akan dibelanjakan pada waku Siang.”

Kata-kata ini menyiratkan bahwa sejatinya kasih dan mengasihi hanyalah antara dua entitas yang berlawanan, berbeda, dan bertolak belakang. Harmoni hanya terbentuk dari yang berbeda dan bukan yang sama. 

Pertanyaan besar yang senantiasa menggugatku saat ini adalah jikalau engkau hanya mengasihi orang yang seagama denganmu, apakah jasamu?”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun