Mohon tunggu...
FAIZAL RAMADHAN
FAIZAL RAMADHAN Mohon Tunggu... TRAINING FASILITATOR -

Tak ada yang tak bisa diubah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memaknai Budaya “Sungkan” Emosi Khas dari Jawa

9 Oktober 2014   08:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:47 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di Indonesia kususnya pada tanah jawa terdapat suatu istilah yang diekspresikan oleh hampir keseluruhan orang jawa yakni “sungkan”. Dalam artikata kata “sungkan” adalah khas yang tidak memliki persamaan tepat dengan kondisi kondisi lain dalam upaya penyampaian makna kata tersebut. Adapun beberapa kata yang dirasa mirip dan  sedikit memiliki kesamaan dengan kata “sungkan” yaitu malu,segan,enggan dan hormat. Tetapi diantara kata tersebut tidak ada kata yang tepat dalam menemukan makna dasar dari “sungkan”. Adapun “sungkan” menjadi sebuah kata sendiri yang merupakan serapan dari bahasa jawa.

“Sungkan” adalah emosi yang khas dari jawa. Bisa dikatakan demikian karena dalam berbagai hal “sungkan” merupakan salah satu bentuk emosi yang berbeda dan tidak sama dengan budaya lain yang terdiri dari berbagai rasa yang hanya dimiliki oleh orang jawa. Dalam sedikit penjabaran “sungkan” merupakan rasa segan enggan tidak enak juga rasa hormat terhadap orang lain tentang suatu keinginan dari dalam diri. “sungkan” juga mencegah orang melakukan perbuatan yang tidak layak dilakukan.

Dewasa ini “sungkan” kurang dipahami maksud dan tujuannya serta arti sebenar-benarnya dalam hidup remaja atau orang sekarang. “sungkan” hanya dijadikan alasan yang kurang jelas dalam melakukan berbagai hal termasuk mengenai alasan alasan orang dalam melakukan sesuatu. Seperti alasan orang tidak mau melakukan suatu perbuatan juga dengan mudahnya menjadikan kata “sungkan” sebagai alasan utama. Sebenarnya apakah keuntungan sendiri yang diperoleh dari kata “sungkan”. Dan apa dampak “sungkan” dalam kajian perilaku dinamika kehidupan manusia.

Analisa

Saat manusia mulai dewasa tentunya manusia akan mengenal dan semakin paham tentang dunia. Mereka banyak belajar berbagai kosakata baru yang mana menjadi suatu kata yang mereka nikmati. Dalam pembahasan ini akan saya coba menghubungkan budaya “sungkan” dalam perspektif pemikiran Jung. Jung seorang tokoh psikoanalitik yang membahsa bahwasannya kepribadian manusia memiliki archetype di dalamnya. Yaitu persona,shadow,anima-animus dan self. Seperti pada kepribadian yang dibahas adalah personality yakni persona diartikan pula kepribadian suatu topeng yang melekat dan berpengaruh pada perilaku orang tesebut.

Dalam dinamika psikologi Jung membagi menjadi concious atau kesadaran, unconcious personal, dan unconcious collective atau ketidak sadaran kolektif. Dimana inilah yang akan saya bahas dan dibahasakan dengan tema pembahasan yang ada. Ketidaksadaran kolektif adalah suatu keadaan bawah sadar yang menyeluruh tidak darihanya diri sendiri. Tetapi lebih pada faktor kelompok yang menurunkan mewariskannya secara turun menurun sehingga menjadi suatu perilaku yang secara sadar dilakukan dan menjadi sesuattu yang laten dan jadi kecenderungan bertindak.

Tentunya warisan disini ada pada posisi kata “sungkan” sendiri yang secara turun temurun ada karena diturunkan dan digunakan sebagaimana fungsinya. Tentunya diwariskannya dengan cara mengatakan keadaaan yang mana adanya suatu upaya menasihati bahwa “sungkan” itu suatu keharusan dilakukan. Walaupun pada bebrapa konteks “sungkan” tak lagi patut digunakan. Seperti dalam upya keadilan dan dalam berbaur dengan oran yang lebih tua dan meminta tolong pada orang lain.

Dalam ketidak sadaran kolektifpun ada pemusatan yang memiliki muatan emosi yang besar dan disebut archetype. Dan pada archetype terdapat pula beberapa macam bentuknya. Jika yang terjadi adalah “sungkan” digunakan sebagai upaya pencarian pengakuan pada masyarakat, berarti pula orng yang melakukan atau menggunakan “sungkan” Cuma sedang menarik empati dari orang yang di”sungkan”inya. Ini terjadi juga pada kondisi sebaliknya. Seseorang yang ingin dirinya di”sungkan”i oleh orang lain. Dia melakukan upaya upaya yang sebenarnya hal ini tidaklah menunjukkan dirinya yang asli. Atau bahkan berlawanan penuh dengan kondisi asli orang tersebut. Tentunya dinegara ini belakangan juga telah muncul istilah pencitraan. Dan jika ditarik suatu garis yang lurus maka contoh keadaaan diatas adalah bentuk dari salah satu archetype yaitu persona, atau topeng yang dilekatkan pada seseorang. Adanya tujuan yang jelas yang membuat orang tersebut memunculkan dirinya yang lain. Dan kondisi lain dari diri manusia tersebut munngkin adalah shadow yaitu sifat asli yang berupa keburukan dari orang tersebut.

Setiap manusia terlahir dalam kondisi sebaik-baiknya. Sebagai orang yang mampu berfikir kita sudah seharusnya dapat membawa budaya “sungkan” pada waktu dan tempat yang tepat sehingga tidak terdapat suatu kejanggalan atau kesalahgunaan dalm kata “sungkan” yang sering di salah artikan sebagai suatu keharusan. Tidaklah kita harus “sungkan” terhadap orang lain yang llebih kaya,pintar dan lain sebagainya jika kita mau berinteraksi ataupun meminta bantuan.

Hidup di dunia bukan dimana kita bisa mendapatkan berbagai hal dari orang lain atau lingkungan kita. Tetapi bagaimana kita daapat memberikan apa apa saja yang kita punya dan kita dapat berguna bagi orang lain. Jadi mari jangan “sungkan” kita semua sama karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Sekian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun