Mohon tunggu...
Faizal Hadi Nugroho
Faizal Hadi Nugroho Mohon Tunggu... Guru - Akademisi

Menulis membuatmu hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nyala Api Dahlan

22 Februari 2021   17:10 Diperbarui: 22 Februari 2021   17:37 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dahlan Efendi dapat disebut sebagai guru. Kesibukannya sehari-hari adalah mengajarkan kepada anak-anak tentang nilai pendidikan. Ruangan yang digunakan adalah 7x3 meter dan disebut sebagai "Rumah Baca". Dengan pakaian lurik karena hari itu adalah Jumat Keramat, hari wajib berbahasa kromo dan wajib menggunakan pakaian Jawa, dia mengajarkan kebudayaan dan bahasa Jawa kepada anak didiknya.

Awalnya, Dahlan kurang memahami bahasa dan budaya Jawa. Dia adalah lulusan S-1 pendidikan agama Islam di STAI Ngawi. Oleh karena itu, pengajaran bahasa dan budaya Jawanya tidak memiliki metode khusus. Namun, nyala di hatinya untuk mengajarkan kedua hal tersebut mengobarkan suluh hatinya. Dahlan kembali meracik pengalamannya mendalami bahasa dan budaya Jawa di Yogyakarta.

Nyala tersebut dijaga sungguh olehnya. Tidak mudah pada masa-masa awal pendiriannya. Berbagai pendekatan dilakukan olehnya hingga harus mengeluarkan uang penghasilannya bersama istri. Uang tersebut digunakan untuk memfasilitasi anak-anak supaya lebih dekat dan nyaman belajar bahasa dan budaya Jawa. Aral tersebut kian terjal manakala datanglah Wakhid, seorang anak yang luar biasa membutuhkan perhatian dengan menunjukkan sikap yang kasar 

Namun, bukan Dahlan Efendi jika tidak mampu menaklukan hati keras anak-anak. Anak-anak adalah kertas putih yang bisa kita tulisi dengan tinta emas dan perak. Guru dan orang tualah yang nantinya menulis kertas putih tersebut hingga menjadi jilidan hikayat indah yang akan berguna bagi anak kelak. 

Wakhid yang dulu diebutnya pethakilan, sosok yang banyak tingkah dan semaunya, menjadi anak yang mengerti unggah-ungguh atau tatakrama. Bak melempar dua burung dengan satu batu, Wakhid menjadi sosok yang lebih baik dan kepercayaan orang tua pun meningkat. 

Alhasil kini Dahlan Efendi memiliki 20 siswa saat ini. Walau kini ia mendapat hadiah dari orang tua berupa uang dan beras, tetapi bukan itu tujuan yang diinginkan. Ia hanya ingin supaya anak masa kini memahami dan meneladani bahasa dan budaya daerah untuk menjadi pribadi yang mulia.

Tak cukup jika menuliskan apa saja yang bisa dipetik dari Dahlan Efendi, mungkin istilah yang tepat adalah "memanen" pelajaran hidupnya. Kegigihannya dalam meraih cita-cita mulia berupa mendirikan rumah baca yang kemudian berevolusi menjadi bimbingan belajar dan bimbingan berperilaku hanya salah satunya. 

Penggalian bahasa dan budaya daerah untuk mengembangkan dan membentuk pribadi anak juga hal yang tak bisa dianggap sepele. Terlebih lagi tanggal 21 Februari adalah hari Bahasa Ibu Internasional. Sebagai generasi baby boomer, milenial, dan Z, perlulah kita meneladani Dahlan Efendi karena benarlah pitutur luhur, "Ajining dhiri ana ing lathi" yang bermakna 'harga diri terwujud dalam ucapan'.  

Diadaptasi dari

Jawa Pos, 17 Juli 2016 halaman 1

pustakaindonesia.org

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun