Mohon tunggu...
Fairuz Izzah
Fairuz Izzah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fairuz Nurul Izzah. Lahir tahun 2000. Berdomisili di Jakarta.

Lulusan Universitas Terbuka jurursan Sastra Inggris Bidang Minat Penerjemahan Pengidap Sindrom Asperger Sudah menulis 6 buku

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Memahami Autisme Lewat Film Inspiratif

28 Februari 2020   18:07 Diperbarui: 28 Februari 2020   21:06 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                           Salah Satu Klip dari Film Bu Ninik-Individu Autistik Sedang Dimandikan Keluarganya

 24 Februari 2020, saya dan Mama saya diundang ke acara pemutaran film bertema autisme di Universitas Katolik---Unika---Atma Jaya. Tujuan acara ini diadakan, Ibu Ninik Supratini Mahar sekaligus produser filmnya berkata, "Yang paling utama, meningkatkan kesadaraan masyarakat tentang anak-anak autistik dengan segala permasalahan yang melingkupi mereka. Kenapa begitu? Karena masih banyak kalangan masyarakat belum memiliki pandangan atau pemahaman mengenai autisme," katanya.

"Kadang-kadang, pemahaman mereka mengenai autisme itu salah. Kami ingin melakukan advokasi kepada para pembuat kebijakan, contohnya kebutuhan untuk sekolah khusus untuk penyandang autistik semakin banyak, sedangkan sekolah-sekolah yang menyediakan layanan untuk anak-anak autistik masih sangat terbatas. Jadi, harus dicarikan penyelesaian (jalan keluar), entah bagaimana atau hal alternatif apa saja.."

Mengenai proses bagaimana filmnya dibuat, Ibu Ninik dan suaminya, dr.  Mahar Agusno, SpKJ (K) mencari kasus autisme di masyarakat. Mereka berkunjung ke desa-desa, lalu bertanya apakah ada anak-anak penyandang autistik di situ, kemudian mendatangi sekolah-sekolah yang memiliki layanan untuk anak-anak autistik. Dari situ Ibu Ninik dan dr. Mahar memilih dan menyusun kasus. Setelah itu, pasangan itu mendekati keluarga---yang punya anak penyandang autistik---dan meminta izin untuk mengangkat cerita mereka ke sebuah film. Ibu Ninik menjelaskan tujuan mereka, dan ternyata tanggapan mereka baik, dan memang sangat berharap kisah mereka bisa menjadi pelajaran bagi keluarga-keluarga yang lain. 

Untuk proyek ini, Bu Ninik dan Pak Mahar bekerja sama dengan Bu Hermi dari Kompak---Komunitas Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus---, Robert Lemelson---dosen UCLA---University of California Los Angeles (LA)---di bidang Antropologi, dan Elemental Productions---studio film pendidikan, yang berfokus pada kesehatan jiwa di Los Angeles, Amerika Serikat. Ada dua kisah individu autistik yang mereka angkat. Keduanya kebetulan belajar di sekolah yang sama, yaitu Sekolah Autis Bina Anggita Yogyakarta,  yang juga ikut terlibat di pembuatan kedua dokumenter.

 "Sebenarnya, langkah pembuatan film-film ini sudah dimulai pada tahun 2012. Memang lama sekali, karena kami juga memprioritaskan proyek yang lain. Tahun 2017, kami mulai garap lagi. Jadi secara intensif, kami bekerja di 2017 sampai sekarang," terang Ibu Ninik.

Film pertama adalah All God's Children yang bercerita tentang individu bernama Idris. Remaja ini didiagnosa autistik hiperaktif. Awalnya, Idris lahir  dan berkembang secara normal  sampai umur 3 tahun. Namun selanjutnya, Idris berkelakuan 'aneh'.  Padahal kembarannya Idrus, tumbuh secara normal. Segala pengobatan dicobakan kepada Idris. Namun kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan untuk membiayai pengobatan dan terapi yang tergolong mahal.

Akhirnya, orangtua Idris bercerai. Oleh ibunya, Idris diajak kembali ke kampung halamannya di pedalaman gunung Kidul. Di situ, si tokoh utama mendapat sentuhan-sentuhan terapi dengan konteks budaya Jawa, mulai dari penanganan dukun, upacara buang sial sampai dengan dimandikan dengan doa-doa. Keluarga, terutama tokoh ibu Isti yang menonjol sebagai ibu kandung Idris, tidak paham dengan kondisi anaknya, malu dengan tetangga dan merasa lelah untuk mengurus Idris. 

Film ini secara umum menggambarkan kondisi keluarga dengan anak autistik di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Kondisi ekonomi yang terbatas sehingga tidak mampu membiayai pengobatan dan terapi si anak, mengakibatkan orang tua berpisah dan salah satu orang tua sendirian membesarkan anak. Pengetahuan yang terbatas bahkan kurang mengenai autisme, membuat orang tua malu dengan kondisi anak, dan lalu memilih menyembunyikan atau menjauhkan anak dari lingkungannya.


Dokumenter kedua berjudul Wawan's Prayer. Berbeda dengan Idris, Wawan dibesarkan keluarga menengah ke atas di Banjarmasin. Ibunya sarjana, jadi ia berasal dari keluarga yang sangat berpendidikan, dan sangat jauh relatif lebih kuat secara ekonomi. Dari sisi kepedulian orangtua dan keluarga besar dalam mendukung si tokoh utama, ternyata jauh lebih bagus dibanding keluarga Idris. Walaupun lahir dengan autisme, Wawan mempunyai kemampuan mengaji yang bagus. Alunannya membaca Al-Qur'an terdengar indah, karena itulah film ini dinamakan Wawan's Prayer.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun