Oleh: Fairuz Javier Athallah
AI: Teman atau Lawan? Pembantu Pekerjaan atau Pengambil Lapangan Kerja?
Perdebatan mengenai kehadiran Artificial Intelligence (AI) kini memasuki babak yang jauh lebih personal dan sosial. Bukan lagi soal algoritma atau jaringan neural, tapi tentang satu hal yang sangat manusiawi: pekerjaan. Di satu sisi, AI dianggap sebagai asisten yang mampu meringankan beban kerja manusia. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa teknologi ini justru mengambil alih peran manusia secara perlahan, bahkan permanen.
Ketika Mesin Mulai Bekerja Seperti Manusia
Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan AI tak hanya mengubah industri teknologi, tetapi juga menjalar ke sektor pelayanan, pendidikan, bahkan jurnalistik. AI kini dapat menulis artikel, membuat karya seni, mendiagnosis penyakit, hingga memprediksi cuaca dengan akurasi tinggi.
Namun yang menggelisahkan, kemampuan itu perlahan mulai menggeser peran profesional. Contoh sederhana: chatbot menggantikan customer service, algoritma analisis data menggantikan analis junior, bahkan robot otomatis di pabrik membuat operator manusia semakin tak dibutuhkan.
Efisiensi atau Eksklusi?
Bagi korporasi, AI adalah jalan menuju efisiensi biaya. Tak ada cuti, tak ada keluhan, dan bisa bekerja 24 jam. Tapi bagi pekerja, efisiensi ini bisa berarti eksklusi---dikeluarkan dari sistem kerja karena tergantikan oleh sistem yang lebih "pintar".
Dunia kerja kini menghadapi paradoks: semakin canggih alat bantu, semakin besar ancaman terhadap keberadaan manusianya. Bagaimana kita memastikan bahwa kecanggihan ini benar-benar bersifat inklusif, bukan eksklusif?