Mohon tunggu...
Faila Sufah
Faila Sufah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Duta KOHATI Walisongo 2023 I Kementrian Pergerakan Perempuan DEMA UIN Walisongo Semarang

The More You Learn,The More You Earn @filasufh

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ilmu Ladunni, Perjalanan Intelektual dan Spiritual Imam Al Ghazali

29 Mei 2023   14:28 Diperbarui: 29 Mei 2023   14:42 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
suarakotapontianak.com

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad atau yang lebih populer dengan sebutan Imam Al Ghazali  atau Algazel merupakan seorang filsuf dan teolog muslim Persia yang hidup di Abad Pertengahan. Beliau  lahir di Tus Khurasan pada tahun 1058 M, di bawah kekuasaan Kekhalifahan Abbasyiyah. Beliau dianggap sebagai sang Mujaddid pada Abad Ke-5, yang menurut salah satu hadits riwayat Abu Daud, Allah membangkitkan seorang mujaddid setiap seratus tahun untuk memperbarui agama ummat-Nya.

Periode kehidupan Al Ghazali dibagi menjadi dua, fase prasufi dan fase sufi. Di masa awal kehidupannya, Al Ghazali sudah diperkenalkan dengan ilmu tasawuf. Berawal dari sepeninggal sang ayah, Ia dan adiknya dititipkan pada seorang sufi sahabat ayahnya. Dari sinilah Al Ghazali mulai mengenal dasar-dasar ilmu tasawuf. Al Ghazali kemudian berlajar pada beberapa guru, antara lain Ahmad bin Muhammad Al-Razakani di Tus, Imam Abu Nashr bin Ismail di Jurjan, dan Imam Haramain yaitu Abu Al Ma'ali Abd Al Malik Al Juwaini di Nesapur.

Kecerdasan dan kejeniusan Al Ghazali sudah nampak sejak saat beliau masih belajar di Jurjan dan Nesapur. Namun, puncak popularitas Al Ghazali adalah ketika beliau diangkat sebagai guru besar sekaligus pimpinan tertinggi atau rektor Universitas Nizamiyah di Baghdad. Di Baghdad inilah beliau terkenal dengan kepiawaiannya dalam berdebat dan sering menjadi rujukan yang kuliahnya ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Sampai sinilah kehidupan Al Ghazali disebut periode prasufi.

Karir Al-Ghazali yang mentereng di Baghdad tersebut ternyata harus berakhir dengan cara tidak terduga. Kesuksesan dan popularitas yang dimiliki ternyata lantas membawa Al Ghazali pada suatu krisis spirituaal yang berlangsung hampir dua bulan. Sebagaimana Descrates, Al Ghazali mengalami fase penuh keraguan dalam hidupnya (skeptis atau syak). Fase itulah yang melatar belakangi Imam Ghazali untuk meninggalkan popularitas dan karir yang sedang dijalaninya.

Apa yang dialami Al Ghazali bukanlah hal yang mencengangkan. Pasalnya sejak kecil beliau telah dibuat bingung oleh berbagai pertentangan pemikiran dalam masalah akidah, syariah, filsafat, dan politik. Untuk itu beliau menghindari sikap taqlid (ikut-ikutan) dan berusaha untuk mencari ilmu yang pasti dan meyakinkan. Bahkan beliau terobsesi dengan ilmu yakini.

Perjalanan Al Ghazali dalam mencari ilmu yakini diawali dengan skeptisme beliau terhadap kebenaran informasi indrawi. Beliau ragu akan kemampuan alat-alat indrawi dalam memperoleh informasi. Kemudian keraguan beliau berlanjut pada keraguannya terhadap kemampuan rasio dalam mendapat ilmu yakini. Beliau kesulitan dalam menemukan alasan mendasar yang dapat menjamin kebenaran rasio.

Sejarah mencatat, dalam mencari ilmu yakini Imam Al Ghazali terlebih dahulu mempelajari ilmu kalam, ajaran ta'limiyah, dan filsafat. Namun beliau tidak menemukan apa yang beliau cari dan bahkan beliau kemudian mengkritik para ahli kalam dan filsafat. Karya beliau yang berjudul Maqahid Al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah merupakan ungkapan kritik beliau terhadap ilmu filsafat yang menjadikan rasio sebagai dasar dalam menentukan kebenaran. Puncak krisis spiritual mengantarkan Imam Al Ghazali kepada Ilmu Tasawuf, ilmu yang pernah beliau pelajari sewaktu masih kecil. Hati beliau mantab untuk menempuh jalan para sufi untuk menemukan sesuatu yng selama ini dicarinya, yaitu Ilmu Yakini.

Pilihan untuk menempuh jalan taswuf bukanlah tanpa konsekuensi, beliau harus meninggalkan segala sesuatu yang dilakukan dan didapatkan bukan karena Allah baik  berupa uang maupun jabatan. Butuh waktu sekitar enam bulan bagi beliau untuk meninggalkan jabatan dan popularitasnya. Kemudian memutuskan untuk ber-uzlah dan mengasingkan diri selama kurang lebih sebelas tahun. Pada fase ini beliau menjalani suluk, sesuatu yang harus ditempuh oleh para sufi. Yang dilakukan Imam Ghazali seagai salik adalah kontemplasi (khalwat), pengasingan diri (uzlah), latihan diri (riyadloh), perjuangan melawan hawa nafsu (mujahadah), zikir, dan penyucian diri (tazkiyat an nufus). Perjalanan beliau dalam menyelami dunia tasawuf inilah kemudian disebut sebagai periode sufi. Dan di periode sufi inilah beliau mulai menemukan apa yang selama ini beiau cari, ilmu yakini.

Menurut Imam Al Ghazali, ilmu pengetahuan dapat bersumber dari tiga hal, yaitu indra, akal, dan intuisi. Baginya,indra merupakan perangkat terpenting untuk menangkap informasi, khususnya informasi-informasi yang bersifat empiris. Namun apabila terjadi pertentangan antara informasi yang bersumber dari indra dan akal, maka informasi akalah yang dianggap benar. Alasannya adalah pengetahuan indrawi bisa saja keliru dan akalah yang dapat mengetahui kekeliruan informasi inderawi tersebut. Sebagai sumer pengetahuan, Al Ghazali cukup konsisten menganggap penting peran akal  baik sebelum mengalami krisis spiritual maupun setelahnya.

Al Ghazali mengibaratkan akal seperti cermin yang memantulkan realitas apa adanya. Tidak ada reduksi (penambahan atau pengurangan) ataupun simplifikasi (penyederhanaan). Oleh sebab itu, pengetahuan mengenai realitas yang diperoleh akal dapat dipercaya objektivitasnya. Akan tetapi jika pengetahuan akal dianggap keliru, kekeliruan tersebut sebenarnya bukanlah bersumber dari akal akan tetap bersumber dari informasi yang didapat oleh seperangkat indrawi yang mengalami reduksi akibat khayal dan wahm. Sehingga untuk mendapatkan kebenaran objektif, khayal dan wahm haruslah dihindari agar tidak mengganggu indra dalam menangkap realitas.

Sebagaimana indra, akal juga punya keterbatasan dalam menjangkau kebenaran terutama hal-hal yang bersifat trasendental. Dalam buku Tahafut Al-Falasifah, Al ghazali mengkritik spekulasi filsafat yang bertumpu pada kemampuan akal yang terbatas dan ketidakmampuannya dalam menjelaskan keabadian alam semesta, tujuan, dan Pencipta alam semesta, ruang dan wwaktu, independensi sebab akibat, eksistensi alam semesta beserta karakteristiknya dan lain-lain. Krisis spiritual Al Ghazali mencapai puncak pada pertanyaan jika indra bisa dikoreksi oleh akal, lalu apa yang bisa mengatasi dan mengoreksi akal?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun