Pernah merasa otakmu terasa "lelah" setelah berjam-jam scrolling media sosial atau bermain game? Itulah yang sering disebut brain rot (kerusakan otak). Istilah ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1800-an dan awalnya digunakan untuk menggambarkan penurunan kesehatan mental akibat kebiasaan buruk. Istilah ini dipopulerkan oleh kalangan generasi Z dan generasi Alpha. Mereka sering menggunakannya untuk mendeskripsikan efek buruk dari terlalu banyak mengonsumsi konten digital, terutama konten receh yang tidak memberikan manfaat. Dalam kehidupan sehari-hari, brain rot sering terlihat sebagai perasaan lelah mental, sulit fokus, hingga kehilangan motivasi untuk melakukan hal-hal yang produktif.
Menurut Afifah Fatin, seorang psikolog klinis, brain rot adalah kondisi di mana otak menjadi kelelahan karena terus-menerus terpapar konten dangkal atau tidak bermanfaat. Hal ini membuat kemampuan konsentrasi menurun, suasana hati memburuk, dan sering kali menimbulkan rasa stres. Fatin juga menekankan bahwa menyadari dampaknya dan mulai mengatur pola konsumsi digital adalah langkah penting untuk menjaga kesehatan otak dan produktivitas.
Ambil contoh, seorang mahasiswa bernama alex yang awalnya hanya ingin mengisi waktu luang. Namun, kebiasaan ini berkembang menjadi rutinitas hingga 12 jam sehari. Akibatnya, Alex mulai sulit tidur, nilai akademiknya menurun drastis, dan ia merasa tidak nyaman saat berbicara dengan orang lain secara langsung. Kasus ini menunjukkan bagaimana pola konsumsi digital yang tidak sehat dapat mengubah hidup seseorang secara signifikan, bahkan tanpa mereka sadari.
Platform seperti Instagram dan TikTok seringkali menjadi penyebab Brainrot, terutama melalui konten singkat berdurasi 30 detik hingga 1 menit. Konten ini langsung menarik perhatian pengguna, sehingga mereka tidak menyadari waktu yang terbuang sia-sia. Tren seperti Toilet Skibidi juga termasuk dalam masalah ini, video-video acak yang berulang membuat kita terbiasa dengan hiburan instan dan membuat kita sulit untuk fokus pada hal-hal yang lebih bermakna. Selain itu, ketakutan akan kehilangan sesuatu, juga dikenal sebagai FOMO, semakin memperbolehkan keadaan ini. Biasanya pengidap brainrot takut ketinggalan tren atau teman-teman mereka. Ketakutan ini mendorong mereka untuk terus memeriksa ponsel mereka bahkan ketika tidak ada informasi penting yang didapat, akibatnya siklus ketergantungan yang sulit dihentikan mulai terjadi.
Brain Rot tidak hanya menyerang remaja atau anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Anak-anak yang terlalu sering bermain gadget seringkali mengalami kesulitan belajar, menjadi sangat bergantung pada perangkat elektronik. Remaja dan dewasa cenderung mengalami penurunan kemampuan berpikir kritis, yang menyebabkan stres, dan bahkan membuat mereka merasa terlindungi.
Untungnya, brain rot bukanlah sesuatu yang tidak bisa dicegah. Salah satu langkah pertama yang bisa dilakukan adalah membatasi waktu layar dengan menggunakan fitur pemantauan di ponsel. Selain itu, pilihlah konten yang memiliki nilai edukasi atau inspirasi, bukan sekadar hiburan instan. Cobalah untuk menjadwalkan waktu tanpa perangkat digital setiap hari, seperti membaca buku, berolahraga, atau berbicara dengan keluarga. Jangan biarkan FOMO mengontrol hidupmu. Sadari bahwa tidak mengikuti semua tren bukanlah hal buruk. Sering kali, fokus pada kesejahteraan diri sendiri lebih penting daripada apa yang sedang terjadi di media sosial.
Brain rot adalah masalah nyata yang bisa menyerang siapa saja, terutama di era digital yang serba cepat ini. Dengan memahami dampaknya dan mengambil langkah pencegahan, kita bisa menjaga kesehatan mental dan tetap produktif. Teknologi seharusnya menjadi alat yang membantu kita, bukan sesuatu yang mengontrol hidup kita. Jadi, mari mulai bijak dalam menggunakan teknologi dan nikmati manfaatnya tanpa kehilangan kendali atas hidup kita.
Penulis: Najla Fairuz An-Naqiyyah
Editor: Fahrurrozi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI