Mohon tunggu...
Fahri Ardiansyah
Fahri Ardiansyah Mohon Tunggu... Penulis -

Menulis adalah cara terbaik mengabadikan peradaban

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gelombang Literasi Instan

6 April 2018   09:05 Diperbarui: 6 April 2018   09:32 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.milenio.com

Literasi adalah rangkaian tanda tanya. Ia terlahir dari sejumlah pertanyaan-pertanyaan tak berbatas. Menyoal keresahan, kegelisahaan, kejenuhan, kemuakkan, kekaguman, kecintaan, kesenangan, dan bahkan manifestasi hidup yang sulit dibayangkan sekalipun. Ia dapat merasuk hebat di alam akal. Mengenap-ganjilkan semua persoalan. Saya menduga, jangan-jangan ia merupakan representasi kehidupan yang sesungguhnya.

Kita mesti jujur mengakui, bahwa keintiman manusia dengan dunia literasi semestinya menjadi sesuatu yang tak berjarak. Tidak dibedakan layakanya A dan B, atau dengan 1,2,3,... sebagai substansi yang berjenjang. Karena ia sebenarnya satu. Menyatu dalam identitas tertentu sehari-hari.

Itulah yang mempertemukan kita pada fenomena positif akhir-akhir ini. Literasi menjelma sebagai gelombang tak ubahnya ombak pasang di laut. Memberikan secercah cahaya dan harapan akan datangnya tradisi intelektual yang menyelimuti bangsa Indonesia di kemudian hari. Apalagi gelombang literasi senyatanya telah melibatkan banyak pihak dan keberadaanya didominasi oleh generasi millennial.

Pada dasarnya, gelombang literasi merupakan suatu gerakan pemberdayaan. Begitu halnya yang dikemukakan oleh Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa literasi lebih dari sekedar kemampuan baca tulis. Namun lebih dari itu, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi danskill yang dimiliki dalam hidupnya. Oleh karenanya, tak mengherankan bila apresiasi literasi begitu besar menggejala demikian masif, karena menyangkut ekspresi duniawi yang terhubung dengan manusia.

Namun, ibarat pohon, semakin tinggi ia menjulang maka semakin kencang terpaan angin. Secara praktis, itu diandaikan sebagai potret pesatnya kegandrungan terhadap dunia literasi yang tidak selamanya berjalan mulus. Tantangan demi tantangan tentunya terus bermunculan. Terutama dari oknum-oknum nakal yang memerosotkan literasi dalam ketidakberdayaan makna. Inilah yang kita sebut dengan generasi literasi instan.

Seolah berperan menyerupai virus, generasi ini kian mewabah seiring dengan ketersediaan teknologi dan arus kecepatan informasi. Era yang menawarkan beragam media, dengan batasan ekslusivitas bernama internet dan atau media sosial. Disinilah, mereka menularkan dogma, distrosi dan bahkan menyerap gagasan yang kadang tidak terkontrol.

Jikalau ada sejumlah pertanyaan, mengapa akhir-akhir ini  kita dengan mudahnya tercerai-berai dan seringkali beruurusan dengan banyak konflik dan perpecahan. Maka salah satu jawabannya ada dalam konteks ini. Oleh mereka, internet maupun media sosial ibarat dewa-dewi yang perlu dipuja karena sebagian besar pengetahuan bersumber darinya. Menyingkirkan peran buku yang lantas tak bermakna lagi, kusam, dipenuhi sarang serangga

Kepercayaan yang tinggi pada informasi media sosial telah memotong apa yang disebut proses. Termasuk didalamnya upaya analitis dan heuristis informasi. Maka tak heran, generasi literasi instan identik dengan intrik dan hoax. Sebab, kepakaran bukanlah prospek utama, namun yang terpenting adalah mengagas pertikaian, kebencian, subjektivitas, dan ideologi semu. Hingga membuat orang terjungkal, terbelenggu, panik pada kebenaran yang tersembunyi.

Saat banyak dari kita telah menggalakkan gerakan literasi sebagai upaya memenuhi kebutuhan bangsa yang masih kurang. Maka kaum literasi instan juga tak henti-hentinya memprovokasi dengan metode yang sama namun dengan tujuan yang berbeda. Padahal menulis, membaca dan proses memahami yang didasarkan pada referensi, pustaka, data yang ilmiah dan imajinasi positif, mutlak adanya dapat membangun peradaban intelektual sebagaimana cita-cita anak bangsa kedepan.

Ini mengingatkan kita pada adagium bijak Imam al Syafii yang mengandaikan ilmu ibarat binatang buruan dan tulisan adalah pengikatnya. Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Adalah sebuah kebodohan berburu kijang dan engkau melepaskannya begitu saja justru setelah engkau berhasil menangkapnya. Maka tulislah segala pengetahuanmu dengan kata yang paling benar agar kamu tak sia-sia dalam hidup. Melepaskannya dengan ringan hingga orang bisa tersadar bahwa dunia ini cerah dan sangat indah.

Tak ada yang lebih hebat dari literasi.  Berkatnya, akselerasi pengetahuan dapat sangat mudah tercapai. Tak mengenal strata, kaya miskin, ras, agama dan apapun itu, semua orang dapat ber-literasi. Semua orang bebas mengungkapkan gagasan, imajinasi, khayal mengenai dunia yang akan dia bangun kedepan dengan tujuan-tujuan yang benar, tidak meresahkan dan tentu saja tidak mengadu domba penikmatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun