Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Genetik Aksara Nusantara, Formula Kunci Mengurai Sejarah

18 Februari 2019   10:48 Diperbarui: 21 Februari 2019   17:18 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Pada tulisan sebelumnya, saya telah mengulas keunikan Aksara Syllable seperti Aksara Brahmik dan Aksara Lontara yang susunan umum pengelompokan unitnya telah disesuaikan dengan konsep fonetik artikulatoris. Suatu hal yang secara intuitif saya lihat sebagai suatu pesan yang dititipkan orang-orang terdahulu kepada kita generasi sekarang. (bagi yang belum membaca, silakan baca: di sini)

Pesan itu tidak tak dijelaskan fungsinya secara eksplisit, menunggu kita untuk mencermatinya. Yang akan kita ketahui, setelah menyadari bahwa morfologi atau perubahan bentuk fonetis suatu kata, umumnya terjadi atau berlangsung diantara sesama fonetik yang sekelompok (dalam satu jenis fonetik artikulatoris yang sama).

Dalam tulisan sebelumnya, juga telah saya urai penjelasan beserta contoh kasus, bagaimana metode pencermati morfologi bahasa dapat dilakukan dengan mengacu pada kelompok fonetik artikulatoris. 

Variabel-variabel yang dimunculkan metode tersebut, dapat dikatakan membantu membuka "ruang analisa" dan meluaskan sudut pandang kita. Mengatasi kondisi kebuntuan yang kerap timbul dalam kegiatan penelitian. (pembaca yang belum membaca tulisan bagian pertama, sangat saya sarankan untuk membacanya terlebih dahulu. Silakan baca: di sini)

Konsep Aksara Syllable umum terlihat digunakan dalam aksara tradisional di berbagai wilayah di Indonesia. 

Dalam Kitab Dinasti Tang Lama (618-907), pada bagian yang membahas Ka-ling atau Ho-ling (Para sejarawan masih berselisih pendapat mengenai lokasi tepatnya, tapi dapat dipastikan di wilayah Nusantara) jelas disebutkan: "mereka memiliki aksara dan mengetahui sedikit ilmu astronomi".

I-Tsing yang mengunjungi Nusantara di abad ketujuh mengatakan: Mereka menulis dengan karakter Sanskerta, dan raja menggunakan cincin jarinya sebagai meterai; mereka juga tahu karakter Cina; dalam mengirimkan upeti (ke Cina) mereka menulis dengan itu. (A Record of The Buddhist Religion as Practised in India and The Malay Archipelago, A.D. 671-695. By I-Tsing. Translated by J. Takakusu. hlm. xlii)

Crawfurd, dalam tulisannya A descriptive dictionary of the Indian islands & adjacent countries (1856) mengatakan sebagai berikut:

Written language is of immemorial antiquity in the Indian Islands, and in every case the characters are phonetic, and not emblematical ; for of the latter, no trace has been discovered. 

There are, in all, no fewer than seven current native alphabets in the two archipelagos, namely, four in Sumatra, one in Java, which extends to Bali, Lomboc, and Palembang in Sumatra, one in Celebes, which extends to all the more cultivated languages of that island, and to those of some islands near it, as Boeton and Sumbawa, and one in Luzon, which is used by some of the more advanced nations of that island, and some of the other Philippines. 

But besides these current alphabets there are, at least, four obsolete ones, one in the country of the Sundas, in Java, one in Celebes, one in Sumbawa, and one in the Philippines, that of the Bisaya nation, so that, in all, there appear to have been invented among the rude tribes of the Indian Islands, no fewer than eleven different systems of phonetic writing, whereas Western Europe with its energetic races, Italy excepted, invented none at all. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun