Mohon tunggu...
Ahmad Fadhlan
Ahmad Fadhlan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bukan tempat persinggahan jadi menetaplah

Penikmat Hidup

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tauhid Sebagai Landasan Pokok Pancasila

28 Oktober 2021   11:28 Diperbarui: 28 Oktober 2021   11:42 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Sukarno menyampaikan sebuah pidato kenegaraan yang disiarkan secara nasional melalui RRI, yang kemudian disebarluaskan melalui surat kabar. Tepatnya, Senin malam, 7 Mei 1951,  30 Rajab 1370 H. Saat itu, Pemerintah Indonesia menggelar peringatan Isra’ dan Mikraj Nabi Muhammad Saw. di Istana Negara, Jakarta. Sukarno dalam pidatonya mengajak  rakyat di seluruh Indonesia berjuang mendirikan negara dengan persatuan yang kokoh serta menjadikan pancasila sebagai dasar dalam menegakkan negara.

Menurutnya, masih ada golongan di Indonesia yang berjuang membela negara tidak berdasarkan pada Pancasila secara utuh. Ada yang berjuang hanya berdasarkan pada sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” saja, dan ada juga yang berjuang hanya berdasarkan pada sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” saja.

Pidato Sukarno menimbulkan pro dan kontra, ada yang menganggap Sukarno kurang tepat dalam menafsirkan nila-nilai Pancasila. Ada yang beranggapan bahwa yang dimaksud kelompok yang berjuang hanya dengan bersandar pada sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” saja adalah golongan sosialis. Sementara politisi Islam merasa jika kelompok yang dimaksud Sukarno berjuang hanya bersandar pada sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah orang-orang Muslim. Bahkan, ada yang mengatakan jika pidato Presiden Sukarno tersebut adalah sindiran bagi Masyumi.

Hamka ketika itu masih aktif di Masyumi, Banyak yang menganggap ialah orang yang paling tepat untuk menanggapi pidato Sukarno. Rekan-rekannya di Masyumi, memintanya agar membuat sebuah uraian yang menjelaskan bagaimana sesungguhnya umat Islam memandang Pancasila.

Menurut Hamka, pintu kemerdekaan Indonesia dibuka dengan keyakinan terhadap “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal itu tak lain karena bangsa Indonesia secara jujur mengakui, bahwa kemerdekaan yang berhasil didapatkannya merupakan berkat rahmat Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Setelah Indonesia merdeka, kata Hamka, maka nilai-nilai tauhid diletakkan ke dalam falsafah luhur Pancasila. Inilah yang dilihat Hamka, bahwa nilai religius bangsa sudah ada, untuk kemudian dijadikannya sebagai falsafah yang tidak dapat diintepretasikan sesaat melalui pendekatan retorika politik.

Hamka menerima Pancasila sebagai dasar negara karena menjadikan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai roh daripada Pancasila itu sendiri. Dengan menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertama. Hamka menilai, hal tersebut menunjukkan jika bangsa Indonesia dibangun atas dasar iman atau kepercayaan hanya kepada Allah, Tuhan Yang Esa.

Namun, ketika Sukarno menerangkan bahwa jika Pancasila diperas akan menjadi satu, “gotong-royong”, sehingga terkesan tidak ada lagi peran Tuhan dalam proses kemerdekaan bangsa maupun jati diri bangsa yang bertuhan, dalam hal ini Hamka tegas menentangnya.

Untuk menanggapi penafsiran Presiden Sukarno tersebut, Hamka kemudian menyusun tulisan berjudul (Urat Tunggang Pantjasila). Tulisan tersebut merupakan pandangan Hamka pribadi untuk menafsirkan Pancasila sebagai dasar negara.

Di dalam tulisannya, Hamka menyatakan bahwa sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan urat tunggang daripada Pancasila itu sendiri, sila inilah yang menjadi pokok dari empat sila yang lainnya. Sebab, di dalam sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” terkandung ajaran tauhid, yang memberikan pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang layak disembah. Tidak ada Tuhan selain daripada-Nya. Segala yang ada di muka bumi tunduk pada kehendak dan kekuasaan-Nya.

“Ketuhanan Yang Maha Esa” juga dimaknai Hamka sebagai kesadaran untuk mengesakan tujuan hidup seluruh alam, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa. Menurut Hamka, “Ketuhanan Yang Maha Esa” telah berhasil menyatukan tiga perkara, yaitu manusia, kehidupan manusia, dan alam semesta. Tiga hal tersebut kemudian diikat dengan satu sebutan, yaitu “al-makhluq” atau yang diciptakan. Adapun Allah yang terkandung pada sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah “Al-Khaliq” atau Yang Maha Mencipta.

Hamka memberikan penekanan bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan sila pokok yang tidak bisa ditafsirkan lain, serta tidak bisa diletakkan sejajar, atau bahkan lebih tinggi dari empat sila lainnya—sebagaimana yang diinginkan oleh golongan yang hendak memisahkan negara dan agama Islam, atau yang ingin menghapus makna dan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pancasila, atau menghapus Allah dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun