Mohon tunggu...
Adhi Muchammad F.
Adhi Muchammad F. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Dont worry about anythings.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Krisis Toleransi atas Penyebab Kontestasi Politik yang Berdasar pada Politik Identitas

22 April 2021   13:30 Diperbarui: 22 April 2021   13:34 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada tahun 2017 yang lalu, kita sempat dihebohkan akan kasus yang meninpa Gubernur DKI Jakarta kala itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kala itu Ahok harus berurusan dengan aparat hukum akibat perkataannya ketika sedang melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Sebenarnya, ketika dalam melakukan kunjungan kerja tersebut, Ahok hanya menjelaskan kepada masyarakat Kepulauan Seribu untuk tidak khawatir akan kebijakan yang diambil pemerintahannya bila dia tidak terpilih lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta melalui Pilkada 2017. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam perkataan tersebut sampai ketika Ahok menyisipkan Surah dari Al-Quran, yakni Surah Al-Maidah ayat 51.

Video perihal kunjungan kerja tersebut sebenarnya telah diunggah secara resmi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui akun YouTubenya. Akibat video tersebut diunggah melalui media tersebut, lantas ada beberapa pihak yang tidak terima atas pernyataan yang dilontarkan oleh Ahok tersebut dan kemudian mengambil penggalan video dari video yang telah diunggah secara resmi tersebut dan kemudian disebarkan melalui media sosial dengan menggunakan narasi yang berbau suku, agama, dan ras.

Permasalahan tersebut makin berpelik ketika Majelis Ulama Indonesia atau MUI mengeluarkan sebuah fatwa yang menyebutkan bahwa perkataan Ahok di Kepulauan Seribu yang menyisipkan dan menyinggung Surah Al-Maidah 51 sebagai bentuk penistaan agama dan perkataan tersebut dapat diproses melalui jalur hukum. Dengan dikeluarkannya fatwa tersebut, membuat beberapa kelompok dan organisasi Muslim melaporkan Ahok atas kasus tersebut ke pihak kepolisian. Salah satu yang paling frontal dan paling terkenal adalah Front Pembela Islam atau FPI yang baru dibubarkan pada Desember 2020.

Selain itu, akibat adanya fatwa itu terjadi sebuah demo yang menuntut ke pihak kepolisian untuk mengusut kasus tersebut hingga Ahok dipidanakan. Terjadi demo perdana pada 14 Oktober 2016 dan terjadi demo serupa yang kemudian familiar dengan nama Aksi Bela Islam hingga berjilid-jilid.

Berimbas dari persoalan tersebut, akibatnya Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi ajang kontestasi politik yang benar-benar dipengaruhi oleh isu-isu SARA. Hal tersebut juga diperparah dengan keberadaan calon gubernur dan wakil gubernur yang memiliki latar belakang yang berbeda. Terjadi perpecahan di dalam masyarakat akibat dukungan dan hinaan kepada calon jagoannya.

Berkaca pada kejaidan tahun 2016 tersebut, penggunaan isu SARA sangat ampuh untuk menggiring opini publik dan memenangkan salah satu pasangan calon gubernur. Isu SARA yang dibawa memiliki dampak serius kepada polarisasi masyarakat dan membuat masyarakat malah menunjukan siapa yang didukungnya. Hal ini bertentangan dengan asas pemilihan umum, yakni Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia.

Pilkada DKI Jakarta 2017 tersebut, ternyata telah diteliti oleh Endang Sari dalam penelitiannya yang berjudul ”Kebangkitan Politik Identitas Islam Pada Arena Pemilihan Gubernur Jakarta” pada Desember 2016. Beliau membahas seputar kebangkitan politik identitas dalam Pilkada DKI Jakarta tersebut dengan menggunakan perspektif konstruktivisme dari Pierre Van Den Bergh (1991) yang berpendapat bahwa politik identitas baik etnik maupun agama sengaja dikonstruksikan oleh elit politik untuk mendapatkan kuasa.

Jika kita balik lagi kepada permasalahan Pilkada DKI Jakarat 2017, ternyata memang benar bahwa agama disini sangat memiliki peran yang sangat penting dalam memenangkan salah satu pasangan calon gubernur yang ada. Agama dipakai untuk embel-embel upaya pembangunan citra diri dan menegakkan harga diri umat Muslim. Sehingga umat muslim harus memilih pemimpin yang berasal dari sesama muslim juga.

Pada akhirnya, kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017 yang serat isu SARA tersebut dimenangkan oleh pasangan calon yang didukung oleh kolompok dan organisasi islam yang menentang adanya pemimpin yang berasal dari bukan Islam. Dapat dikatakan bahwa dengan membawa agama mayoritas kedalam politik, dapat dengan mudah bagi kita untuk meraih suara dari kaum mayoritas dan hasilnya berimbas kepada kemenangan pemimpin yang didukung oleh kaum mayoritas tersebut.

Indonesia sebagai Negara Multikultur

Meskipun Pilkada DKI Jakarta 2017 sudah berlalu, ternyata pilkada tersebut malah membawa warisan yang besar kepada kontestasi Pemilu Presiden Indonesia 2019. Hal tersebut kemudian diperparah dengan salah satu calon wakil presiden ternyata berasal dari wakil gubernur yang terpilih akibat permainan dalam penggunaan isu agama yang terjadi. Hal tersebut tidak masalah memang, tapi menimbulkan banyak polemik juga karena calon wakil presiden lainnya berasal dari ulama yang notabenenya adalah tokoh agama sesungguhnya karena berasal dari Majelis Ulama Indonesia atau MUI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun