Mohon tunggu...
FilsufMuda
FilsufMuda Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Lepas

gak mau jelasin apa apalah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ulasan Pemikiran Karl Marx: Agama adalah Candu

8 Januari 2021   17:49 Diperbarui: 8 Januari 2021   18:04 7925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Editor Redaksi Oleh PikiranKita | Media Penulisan dan Edukasi Pemikiran

Umumnya orang menganggap bahwa agama adalah pedoman hidup manusia. Karena merupakan pedoman hidup, maka manusia akan tersesat jika tidak berpegang pada sistem nilai yang mereka tawarkan. Betapa tidak, sistem nilai dianggap berasal dari entitas transenden yang merupakan pencipta manusia itu sendiri. Orang-orang memanggilnya Tuhan. Ketika agama diposisikan sebagai pedoman, maka agama itu sendiri dianggap mampu atau mampu menyelesaikan semua masalah yang ada. Baik masalah yang menyangkut rahasia alam semesta maupun masalah yang berkaitan dengan realitas sosial. Agama juga mengajarkan bagaimana seseorang berurusan dengan Tuhan itu sendiri. Singkatnya, segala persoalan di dunia akan terselesaikan jika mendasarkan diri pada agama.

Tapi apakah itu benar? Apakah agama benar-benar menjadi pedoman bagi manusia atau sebaliknya? Karena sering dijumpai pula, alih-alih memberikan solusi atas permasalahan yang ada, agama justru memberikan jalan "lain" yang cenderung merugikan manusia.

Alan Woods memberikan gambaran tentang praktik agama Kristen yang menurutnya sangat merugikan. Dia mengatakan Gereja pada masa Paus Leo X pada 1517 melahirkan apa yang disebut Taxa Camerae. Taxa Camerae adalah praktik keagamaan yang diklaim dapat menyelamatkan nyawa seseorang, hanya jika seseorang dapat membayar ke Gereja. Pelaku ritual ini bahwa dosa seseorang, baik dosa besar maupun kecil, hanya dapat ditebus dengan membayar sejumlah uang yang sesuai, sesuai dengan berat dosa yang dilakukan. Bagi Alan Woods, alih-alih menampilkan dan melakukan ritual keagamaan yang sakral, praktik-praktik tersebut justru menunjukkan sebaliknya, yaitu kemunafikan. Kemudian contoh lainnya adalah fenomena Lord Marduk Babylon. Alan Woods menjelaskan bahwa perintah yang diperintahkan oleh agama hanya menyembunyikan fakta atau kenyataan yang sebenarnya, yaitu pemisahan masyarakat menjadi dua kelas. Yakni, kelas penindas, yang diwakili oleh mereka yang merupakan "wakil" Tuhan, dan kelas tertindas, yang diwakili oleh kelas pekerja. Kelas pekerja ini bertugas memberikan persembahan kepada Tuhan, yang tidak lain adalah kelas penindas. Pada dasarnya amalan keagamaan itu sendiri bukanlah persembahan, melainkan hanya sebagai perbudakan oleh mayoritas oleh minoritas. Para pendeta ini dibebaskan dari semua beban kerja, dan mereka mendapatkan kesenangan serta hak istimewa atasnya.

Jika demikian, apakah agama benar-benar menjadi pemandu dan pembebas bagi umat manusia? Dari sinilah muncul anggapan bahwa yang harus dikritik karena fenomena ini adalah orang yang beragama itu sendiri, bukan agama an sich. Dalam arti tertentu, agama dan pemeluknya adalah dua entitas yang berbeda. Jika kedua fakta tersebut dipisahkan, sangat mungkin jika agama itu sendiri hadir sebagai pedoman, tetapi karena ada orang atau penyimpangan maka agama menjadi hal yang buruk. Tapi benarkah begitu?

Karl Marx mengatakan sebaliknya. Ia menilai bahwa agama bukanlah pedoman bagi umat manusia, melainkan kandang atau jerat. Marx berkata, "Agama adalah desahan dari makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tidak berperasaan dan kondisi jiwa dari jiwa. Itu adalah candu rakyat ". Kutipan terkenal ini mewakili posisi Marx dalam hal agama. Agama hanya mengeluh dari makhluk yang tertindas, maka itu hanya candu. Agama bukanlah pedoman, tetapi tidak lebih dari masalah manusia sendiri. Alih-alih memberikan petunjuk untuk keluar dari suatu masalah, ia menjadi candu atau obat penenang. Candu di sini artinya obat yang bisa meredakan atau melupakan rasa sakit yang sesungguhnya. Sedasi di sini berarti ilusi, yang tidak menyelesaikan masalah nyata yang ada di masyarakat. Singkatnya, agama adalah pemalsuan.

Pertanyaannya adalah, bagaimana Marx sampai pada kesimpulan ini? Dan bagaimana pandangan Marx tentang realitas agama itu sendiri?

Konsep keterasingan Hegel dan Feuerbach

Keterasingan adalah konsep yang sangat penting dalam pandangan Marx tentang agama. Konsep keterasingan ia adopsi dari Hegel dan juga Feuerbach. Dari Hegel-lah konsep keterasingan muncul. Tetapi keterasingan di tangan Hegel ini masih bersifat idealis. Dalam pengertian tersebut, keterasingan yang terjadi dalam realitas masih dianggap sebagai keterasingan yang terjadi pada tataran immaterial atau ide. Sehingga konsep keterasingan Hegel dianggap tidak terjadi pada tatanan material.

Menurut Hegel, keterasingan adalah kesadaran yang tidak bahagia (kesadaran tidak bahagia). Keterasingan ini terjadi ketika ada individu yang berada dalam kondisi terpisah dari hakikatnya. Basis esensi ini adalah basis universal jiwa dunia. Kondisi ini terjadi ketika individu atau subjek merasa esensi atau jiwa dirinya berjauhan, bahkan pada sisi yang berlawanan dari kesadarannya. Tetapi bagi Hegel, keterasingan ini adalah hal yang penting, karena ini adalah salah satu fase perkembangan historis dari suatu roh. Jadi, ketika Roh berada dalam keadaan terasing, ia kemudian mencoba mendamaikan apa yang terasing di dalam dirinya sendiri. Bentuk rekonsiliasi ini terjadi ketika roh yang terasing ini, yang berupa individualitas pribadi seseorang, menjadi objek kesadarannya. Atau dengan kata lain, individu ini mulai menyadari bahwa dirinya adalah kekuatan spiritual atau wahana jiwa yang memiliki pengetahuan tentang dirinya sendiri. Posisi Hegel sebenarnya ingin mengatakan bahwa keterasingan hanya bisa diatasi jika ada yang disebut rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini terjadi, ketika individu mulai menyadari bahwa dia terhubung dengan landasan universal jiwa dunia, atau dalam bahasa lain dia mulai menyadari dasar dari segalanya, yaitu esensi dasar yang tidak dapat dipisahkan dari dirinya sendiri. Ketidakterpisahan terjadi ketika ada harmoni antara individualitas dan esensi dasar segala sesuatu atau Roh qua Tuhan itu sendiri. Dalam pengertian itu, proses penyelesaian keterasingan terjadi ketika seseorang mulai menyadari atau menaruh imannya kepada Tuhan.

Posisi Feuerbach berbeda dengan Hegel, meski dalam konteks keterasingan ia tetap menggunakan kerangka kerjanya. Jika Hegel mendasarkan konsep keterasingannya, itu masih dalam ranah Spirit qua Soul qua Consciousness. Jadi Feuerbach membalikkan konsepsi Hegel. Pembalikan dalam konteks ini berarti bahwa Feuerbach tidak mendasarkan keterasingan pada tingkat yang ideal, tetapi pada tingkat material. Atau dengan kata lain, Feuerbach membalikkan filsafat roh Hegel, menjadi filsafat manusia.

Kuy Baca juga, untuk nambah wawasan PikiranKita:

  1. Kebahagiaan, Fundamentalisme dan Kebebasan

  2. Masalah Analogi Masjid dan Pasar di Masa COVID 19

  3. Negara, Paranoia, dan Massa

  4. Albert Camus: Pemikiran tentang Absurditas (Ketidakpastian)

Bagi Feuerbach, tugas utama filsafat adalah mengembangkan filsafat manusia, bukan filsafat Jiwa atau Teologi. Singkatnya, filsafat manusia mengkritik filsafat spiritual. Bagaimana ini bisa terjadi? Feuerbach berkata, alih-alih mengatasi keterasingan dengan mendamaikan dengan Tuhan, bentuk rekonsiliasi dengan Tuhan itu sendiri adalah keterasingan. Hegel, seperti halnya Kristen, menganggap manusia dan alam sebagai entitas yang terpisah, kata Feuerbach. Dan itu adalah kesalahan. Feurbach di sisi lain mengatakan bahwa manusia dan alam adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika demikian, maka jika manusia memiliki kesadaran bahwa ia harus menyatu dengan Tuhan, ini adalah bentuk keterasingan. Alasannya karena manusia melepaskan diri alaminya kepada suatu entitas atau wujud yang ada di ruang alam itu sendiri. Jadi, jika keterasingan ingin dilampaui, satu-satunya cara adalah menarik Tuhan dengan semua atribut yang melekat padanya, pada manusia itu sendiri. Mengapa demikian? Karena Tuhan sendiri adalah manusia yang terasing, Tuhan tidak lain adalah proyeksi manusia. Karena ini adalah proyeksi, maka itu adalah ciptaan manusia. Namun kenyataan bahwa Tuhan adalah hasil ciptaan manusia telah dilupakan, sehingga tugas utama manusia adalah mengingat kembali fakta yang mendasar ini, bahwa Tuhan adalah ciptaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun