Mohon tunggu...
Ezra AbdiAgastya
Ezra AbdiAgastya Mohon Tunggu... Musisi - Hiburan

saya tidak bisa terikat label, Noskii ya Noskii.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebab dan Asal Angkringan Muncul

25 Mei 2021   20:00 Diperbarui: 25 Mei 2021   20:25 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Angkringan Lumintu

Berawal dari daerah Istimewa Yogyakarta dan beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Magelang, Kradan, Solo, Pworejo dan Semarang, kini bangsa Angland telah menyerbu daerah lain. Salah satu simbol Yogyakarta dan Jawa Tengah ini selalu diburu di daerah manapun. Tidak hanya di sekitaran Yogyakarta saja, tapi juga di Jakarta dan kota-kota besar lainnya sudah terdapat Angkringan. Hal tersebut membuktikan bahwa keberadaan Angkringan memang telah tersebar di beberapa wilayah di Indonesia.

Padahal, warung makan Jawa Tengah ini sudah dipasang di atas gerobak. Menu yang disediakan juga bisa dikatakan sangat sederhana. Nasi bungkus kertas nasi atau daun pisang bisa dipasangkan dengan aneka sate, seperti sate ayam, sate telur puyuh, sate ati empela dan aneka minuman. Namun, yang jelas tidak banyak orang yang mengetahui sejarah dari Angkringan  ini. Fakta membuktikan bahwa Angkringan memiliki makna filosofis yang dalam. Bukan hanya penawar yang murah, namun kandungan filosofis Angkringan memang tidak biasa.

Dilaporkan dari beberapa sumber sejarah di angkringan, dan awalnya diperkenalkan oleh seseorang bernama Mbah Pairo. Dia adalah seorang Kladdin dan kemudian berimigrasi ke Yogyakarta. Sekitar tahun 1950-an, Mbah Pairo (Mbah Pairo) menjual dagangannya dengan membawa dan jalan-jalan di Yogya. Mbah Pairo biasanya tinggal di dekat Stasiun Tugu. Saat berkeliling, Mbah Pairo meneriakkan Ting ... Ting ... Hik, yang menarik perhatian konsumen. Gara-gara teriak, Angkringan awalnya disebut Hik, hidangan keistimewaan dari desa.

Semakin terkenalnya Mbah Pairo, ia tidak lagi membawa barang-barang saat bepergian di Kota Yogya. Kemudian, dia lebih memilih keluar dan berjalan-jalan dan menggunakan gerobak di trotoar dengan kursi panjang untuk digunakan pembeli. Karena mereka menggunakan kursi panjang, pelanggan mereka suka mengangkat satu kaki ke kursi. Akibat kebiasaan mengangkat satu kaki, muncul kata "angkringan" atau "bertengger" atau "metangkring".

Angkringan jelas juga memiliki filosofi yang dalam, khususnya bagi masyarakat Jawa. Orang Jawa percaya bahwa Angkringan lebih dari sekedar tempat mengisi perut dengan kisaran harga yang relatif murah. Angkringan dianggap sebagai tempat sosialisasi antar warga dan simbol egalitarianisme antar sesama manusia. Apalagi harga makanan di tempat ini memang sangat murah sehingga tempat ini sudah menjadi sarana silaturahmi antar kelas sosial.

Setiap toko angkringan  memancarkan suasana yang hangat dan sederhana, yang menjadi sarana untuk berkomunikasi satu sama lain. Terlepas dari seragam dan status sosial. Faktanya, penjual sering terjebak dalam obrolan dengan pelanggan. Hal seperti inilah yang menjadi alasan bagi setiap pelanggan toko angkringan untuk kembali. Kembali ke sifat manusia pada tingkat yang sama.

Saat ini banyak pengusaha muda yang membuka banyak kedai kopi dengan fasilitas kelas satu. Dari AC hingga akses WiFi. Namun, hal tersebut sepertinya tidak menjadi tantangan tersendiri bagi para pengusaha angkringan. Angkringan sudah memiliki tempatnya di hati masyarakat. Kesederhanaan dan kehangatannya tidak dapat digantikan oleh jenis warung makan lainnya. Angkringan selalu memiliki ciri khas Indonesia. Berintegrasi dengan komunitas dan makan bersama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun